5/27/10

Buruh V.s Pengusaha



Bagi para melek ilmu pengetahuan, perseteruan antara kaum buruh dan pengusaha sudah berlangsung sejak lama. Tercatat, tokoh yang membukukan teori perseteruan itu dalam buku fenomenal 'Das Kapital', fenomena itu telah ada sejak 1848. Dan..Karl Marx-lah tokoh di belakang layar buku tadi.

Bahkan, hingga siang hari tadi saya masih merasakan nuansa perseteruan antara kaum pemilik modal dan buruh tersebut. Ini terjadi tepat ketika saya melakukan liputan personalisasi seorang orang tua murid yang akan mendaftarkan anaknya masuk sekolah SD yang berstandar internasional.

Apa yang membuat saya-malam ini-menarikan jemari di atas tuts komputer ini bukanlah tentang isi dari liputan tersebut, melainkan bagaimana sang orang tua tadi senantiasa di hampir tiga perempat waktu perjumpaan kita-di rumahnya di Jl. Talang Jakarta Pusat- membicarakan betapa menarik dan menguntungkannya menjadi pengusaha.

"Iya Bang...mumpung masih muda seperti Abang ini..coba deh bikin bisnis.."jelas wanita berperawakan cantik usia 48 tahun tersebut. Baginya, berbisnis atau menjadi pengusaha sudah harus dilakukan sejak muda seperti yang dilakukannya dahulu kala. Wanita berdarah Sunda kelahiran Jakarta ini pun berkisah bahwa pada tahun 1986 ia telah memulai usaha konveksi dengan menjahitkan sendiri seluruh baju pesanan. Uniknya, keterampilan menjahit tersebut ia peroleh melalui pendidikan yang berbeda dengan pendidikan formalnya sebagai pendidik di Fakultas keguruan IKIP Jakarta. Perempuan yang telah keguguran 13 anaknya tersebut belajar sendiri dalam menjahit.

"Oh..menarik itu bu...saya juga berencana ke arah sana kok nantinya..."timpal saya sekenanya. Ya, sekenanya. Pasalnya, pada saat itu bagi saya perbincangan seperti itu, jika dilakukan dalam konteks liputan, hanyalah bagian dari mencairkan suasana untuk kemudian memperoleh hasil liputan yang maksimal.

Namun, ternyata saya baru sadar. Menjadi pengusaha memang benar-benar menarik hingga saya terus memikirkannya dan akhirnya menumpahkan semua itu dalam new post malam ini. Menarik! tentu saja karena ada iming-iming keuntungan yang besar yang diraup. Saya ambil contoh dari apa yang dikisahkan oleh sang Ibu satu anak tadi. Dari usaha konveksinya itu, Ia bisa meraih keuntungan maksimal sehari hingga 50 juta.

WOW!!! Batin saya berteriak mendengar kisah tersebut. Terang saja saya terkejut. Kalau dibandingkan dengan saya yang hanya bergaji kurang dari lima juta per bulan ini, penghasilan tersebut jelas sangat amat mencengangkan. "Kapan coba gua bisa dapat uang sebegitu kalau cuma masih jadi karyawan tok??" tanya saya kepada si Pir Owners.

Namun, yang lebih menarik adalah sisi sebaliknya. Pada tahun 2007 si Ibu pernah mencoba ekspansi bisnis ke bidang lain: konstruksi dan supplier konveksi dan atribut partai. Kali ini beda cerita. Bukan berpuluh-puluh juta yang ditengguk, malah Ia harus rela melepas dengan tenang 1,5 Miliar modalnya untuk mendapatkan proyek-proyek tersebut. Yang ternyana, setelah diceritakan lebih lanjut, hal itu terjadi karena beliau tertipu oleh rekan bisnisnya sendiri.

Lengkap sudah daya tarik menjadi pengusaha itu. Satu sisi, jelas ada harapan meraih berlimpah-limpah uang masuk ke kocek kita. Namun, di sisi lain, kemungkinan untuk terpuruk karena merugipun terkadang atau bahkan seringkali tidak bisa dihindari. Semua itu bak 2 sisi pada koin yang saling melengkapi.

Saya sendiri rencananya akan merealisasikan hidup berbisnis. Dan itu harus segera terealisasi. HARUS!!! Mengapa? Saya terpikir, sungguh sangat tersiksa jika saya harus terus memburuh sampai akhir hayat. Atau... katakanlah hingga usia pensiun: 55-60 tahun. Lalu, kapan kita bisa menikmati apa yang telah kita capai tadi? Asumsi saya adalah ketika sudah pensiun kita bisa punya waktu luang cukup banyak untuk berleha-leha dengan pencapaian selama kita memburuh. Karena tentu saja saat itu kita 'libur' sepanjang hari dari kerja. Namun, di usia yang sudah tidak enerjik lagi dan tentu saja akan banyak larangan dari dokter untuk membatasi makan makanan yang enak-tentu saja yang penuh dengan resiko penyakit seperti lemak, kolesterol, dan sebagainya; apa yang bisa kita harapkan untuk mengisi waktu 'libur' tersebut??

Dalam konteks itulah kita harus menjadi pengusaha dengan kondisi bahwa kitalah yang mengatur waktu libur dan waktu kerja kita. "Kan enak tuh..masih usia 40 tahun gua udah 'cuti'..terus bisa jalan-jalan en makan-makan yang enak deh" celoteh saya dalam benak.

Namun, lagi-lagi itu adalah harapan dan rencana. Tapi..Tuhanlah tetap yang berkehendak!!! Dan saya pun memegang teguh janji Tuhan yang berkata: "Sebab aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan"

Amien!!!



-PO-
(manusiayangpenuhdenganambisinamunterbatasdalamkondisi)
22:06 AM

No comments:

Post a Comment