8/30/13

Jangan asal lahap, meski sudah lapar


Foto dikutip dari http://www.resepmakananbayi.net/bubur-apel.html  


Logika nggak jalan kalau nggak ada logistik..
Begitu bunyi bio akun twitter Benu Buloe. Agak nyentrik memang. Bahkan, bisa jadi mengandung tanda tanya bagi orang yang baru mendengar frase tersebut. Apa hubungannya logika dengan logistik? Lalu, apa pula maksudnya kalimat itu dituliskan sebagai bagian dari bio, yang acap diidentikkan dengan identitas dari pemilik akun mikroblogging tersebut.

Tentu, hubungannya lebih dari sekadar "baik-baik saja". Karena ada makna tersirat di dalamnya. Dan, jika kita coba bedah secara sintaksis, maka kata logika dan logistik seolah memiliki tautan tertentu yang merangkai sebuah makna di samping tentu saja logika dan logistik itu pula telah mengantongi maknanya masing-masing.

Ya, logika menjadi sebuah kata benda yang dimaknai sebagai sebuah hasil proses tesis-antitesis-sintesis dalam ranah filsafat. Sederhananya, meski itu kata benda, namun ada proses kerja di dalamnya: proses berargumentasi. Sementara, logistik acap disederhanakan ke dalam makna yang berkaitan dengan urusan perut: bisa makanan atau bahkan uang. Sungguh penyederhanaan yang sangat cepat, kalau tidak mau disebut sebagai dangkal. Sebab, logistik bermula pada akhir abad ke-19 di mana logistik menjadi sebuah pasokan kebutuhan militer dalam menjalankan tugasnya mulai dari senjata, amunisi, dan berbagai perlengkapan pendukung lainnya.

Jadi, dapatlah saya pahami bahwa Benu Buloe-kawan saya dulu semasa menjadi jurnalis Trans TV-coba memproklamirkan dirinya sebagai orang yang, paling tidak, melihat arti penting pasokan bagi sebuah proses kerja. Dan, karena Benu adalah seorang yang saya sebut sebagai wartawan kuliner, maka makanan dan logistik seolah memiliki tautannya secara otomatis.

Makanan menjadi kunci segalanya. Tidak hanya bagi Benu. Tapi berlaku umum. Karena memang itulah hakikatnya. "One should eat to live, not live to eat," kata artis kenamaan asal Prancis Jean-Baptiste Poquelin, atau biasa dikenal dengan nama panggung Moliere.

Ragam makanannya? Tentu saja ada banyak! Tapi, makanan yang pokok bisa dihitung jari. Sebut saja beras. Hampir dua miliar manusia di dunia ini memakannya. Utamanya mereka yang tinggal di Asia, Amerika Latin, dan beberapa wilayah Afrika. Ada juga makanan pokok lainnya seperti jagung, umbi-umbian, atau bahkan gandum.

Hanya saja, kita perlu hati-hati dalam mengonsumsi makanan itu. Jangan asal lahap meski sudah lapar! Jangan juga asal beri makanan kepada mereka yang lapar. Apalagi kalau itu adalah bayi yang masih berusia di bawah enam bulan.

Nah, setelah satu semester saya dan istri memberi makanan "ajaib" secara eksklusif kepada putri pertama kami, akhirnya Jumat sore (30/8/2013) kami memberikan makanan pendamping ASI untuk kali pertama. Akhirnya, putri kami makan bubur. Bubur instan Milna namanya. Semoga, bubur, yang di dalamnya terkandung tidak hanya makanan pokok beras tapi juga gula, jagung, bahkan berbagai vitamin, bisa memenuhi kebutuhan tumbuh-kembang dirinya secara utuh. Tidak hanya menjalankan logika.


-PO-
01.23 WIB
01/09/2013

8/29/13

Rating & Share

Image courtesy of http://www.integratedmortgageplanners.com/blog/first-time-home-buyers/the-mortgage-qualifying-rate-mqr/

Number of TV households tuned in
______________________________    =  Rating Figure

Total number of TV households


  • For example, if 75 households of your rating sample of 500 households are tuned to your show, your show will have a rating of 15 (the decimal point is dropped when the rating figure is given)
          75
          ___  = 0.15 = 15 rating points

          500


TV households tuned to your station
_______________________________  =  Share

All households using television (HUT)


  • For example, if only 200 of the sample households have their sets actually in use (HUT = 200 = 100 percent), the 75 households tuned into your program constitute a share of 38:

          75
         ___  = 0.375 = Share of 38

         200


*(Zettl, 2003 : 428)
**Dedicated to all broadcasters who are still confused with the terminology of rating and share in television..

8/7/13

Cinta dalam Semangkuk Minyak Kemiri

Minyak kemiri dalam mangkuk yang dimasak tanpa pengawet selama sekitar 2 jam, Selasa (06/08/2013). Foto koleksi pribadi diambil dengan kamera henpon.

"I love you, easy to say but it takes a long time to prove..."

Mari kita bicara cinta (lagi)... 

Hmm..saya berasumsi Anda bosan bicara cinta. Entah itu karena Anda belum mendapatkan cinta sejati, atau justru karena sedang ketiban pulung: patah hati (lagi), atau mungkin Anda muak mendengar kata cinta karena cinta menjadi seonggok mahluk yang terlalu "basi" untuk dibicarakan. 

Baiklah. Anggaplah asumsi itu benar. Jadi, lebih baik kita sudahi saja bicara cinta.

Tapi, saya masih ingin melanjutkan tulisan ini. 

Izinkan saya sedikit mengganti ajakan tadi dengan: 

Mari kita buktikan cinta...

Ya, seharusnya sedikit lebih baik. Sebab, kali ini cinta akan berwujud. Tidak lagi abstrak, se-abstrak rayuan gombal ala Alay : "Neng, Tanah Abang luas loh..Kalau ndak percaya, tanya saja sama orang-orang".

Lalu, apa bukti cinta itu? 

Banyak! Bahkan teramat banyak! Dulu, ketika saya masih ABG (Anak Baru Gede) seringkali saya dengar kawan-kawan yang berpacaran (pria-wanita) mengatakan bahwa kalau ciuman (di bibir) menjadi hal yang lazim sebagai bukti cinta. Beranjak dewasa, saya mendengar kisah lain. Bahwa kalau memang cinta, "Yuk, bajunya dibuka dong biar kita bisa bercinta.."

Membayari ketika sedang beli makanan atau barang-barang lain juga acap dijadikan bukti kadar cinta seseorang.

Lain cerita dengan pengunjung jembatan Hohenzollernbrucke di Koln, Jerman. Tahun 2010 saya menyaksikan bagaimana warga Koln atau turis yang mengunjungi jembatan itu berlomba-lomba menunjukkan bukti cinta mereka dengan sebuah gembok yang dikuncikan di sela-sela sisi jembatan tersebut. Uniknya, simbol cinta dalam gembok itu tidak hanya milik mereka yang berpasangan seperti pria-wanita, tapi juga pasangan sejenis. Tidak hanya itu, mereka yang satu keluarga juga terlihat ikut memasangkan gembok di jembatan yang dibangun antara tahun 1907 dan 1911 tersebut. 



Pasangan pria-wanita melintasi jembatan Hohenzollernbrucke di Koln, Jerman yang dipenuhi dengan "gembok cinta" di satu sisinya. Image courtesy of http://hungeree.com/culture/the-love-locks-of-cologne-germany/


Tentu saja, gembok yang ditautkan dijembatan yang melintasi sungai Rhine itu bukanlah gembok biasa, melainkan sebuah gembok yang sudah digrafir dengan kata-kata tertentu (biasanya nama yang bersangkutan dan tanggal pemasangan gembok itu).  


Sebuah ungkapan cinta yang diukir di gembok: "A promise of love to our family". Image courtesy of http://journals.worldnomads.com/amy_velleman/photo/36714/917552/France/For-me-this-image-symbolises-Paris-more-traditionally-known-as-the-city-of-love 

Jelas sudah. Bukti cinta, bayaklah ragamnya. Mulai dari sekadar untaian kata-kata romantis, atau memberikan pengorbanan tertentu, hingga membuat beragam simbol cinta seperti rentetan gembok di jembatan (fenomena simbol cinta di jembatan juga terdapat di beberapa negara di Eropa dan Australia).

Saya juga tak mau ketinggalan  buktikan cinta kepada pasangan dan anak perempuan saya. Merelakan waktu tidak kurang dari dua jam untuk menemani istri menggongseng kemiri pada Selasa (07/08/2013) semoga menjadi bukti cinta itu sendiri. Ini menjadi lebih berarti manakala hasil minyak kemiri itu akan kami oleskan di kepala puteri kami demi mendapatkan rambut yang tebal dan berwarna hitam bak mahkota yang indah.

Hmmm,...apalah artinya bukti cinta itu? Bunda Teresa pernah berujar, "Not all of us can do great things. But we can do small things with great love". Ya, semoga menemani istri menggongseng minyak kemiri demi sang puteri jadi hal kecil yang membuktikan besarnya cinta itu sendiri..


-PO-
070812
16.03 WIB