12/22/13

Ratu, Timnas-U-23, dan Musibah

Diego Michiels (bertopi) sedang dikawal petugas dengan tangan terborgol  saat penyerahan berkas pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi Jakarta Pusat, Rabu (19/12/2012). Michiels menjadi tersangka dalam dugaan kasus pemukulan terhadap mahasiswa asal Bogor di diskotek Domain Senayan pada tanggal 8 November lalu. 

MALAM baru saja mengambil perannya, menggantikan senja di Masjid Baitussolihin, Jalan Bahayangkara nomor 1, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Senin 7 Oktober 2013; ketika Ratu Atut Chosiyah menggelar istiqasah atau pengajian bersama ribuan warga Banten.

Doa dan shalawat pun dinaikkan secara bersama. Tujuannya satu! Ada sebuah keajaiban yang hinggap. Ya, paling tidak mukjizat itu berwujud rasa damai di hati yang gundah pasca ditetapkannya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan -sang adik kandung Atut- oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wawan memang sedang tersandung kasus suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi non-aktif Akil Mochtar.

Tentu, bukan Tuhan yang tertidur manakala doa-doa seolah tak mujarab. Tapi, memang naturalitas dari doa itu sendiri yang tak bisa dipaksakan, bahwa doa tidak akan mengubah Tuhan (dalam membuat keputusan). Tapi, doa, sejatinya, justru merubah manusia yang memanjatkannya. Begitu sabda Soren Kierkegaard, seorang filsuf kenamaan dari Denmark.

Walhasil, alih-alih merasakan damai di hati, Ratu Atut malah menjadi shock manakala KPK juga menetapkan sang gubernur Banten ini menjadi tersangka dalam kasus korupsi dugaan suap sengketa pemilihan kepala daerah di Lebak, Banten, pada Selasa (17/12).

Sementara itu di tempat lain berjarak ribuah kilometer, malam juga masih menggelayuti stadion Zeyar Thiri, di Naypyidaw, Myanmar, Sabtu (21/12). Meski ada ribuan orang saling bersorak menyemangati finalis sepakbola, Indonesia-Thailand di ajang Sea Games ke 27 ini, tapi itu tak cukup menyemarakkan stadion yang berkapasitas 30 ribu penonton itu.

Paling tidak, banyaknya bangku kosong yang tampak dari layar kaca SCTV, ini membuktikan kurang semaraknya suasana di negeri tanah emas itu.

Seolah ingin turut menyemarakkan ajang final sepak bola Sea Games 2013 tersebut, saya sekeluarga malah membuat keriuhan tersendiri di rumah. Ayahanda saya sibuk melontarkan komentar setiap kali timnas U-23 gagal menembakkan bola ke gawang Thailand dengan tepat.

“Itu mereka apa ngga' pernah berlatih menembak jarak jauh, ya? Kok tembakannya melenceng melulu sih?”

Saya sendiri, coba buat keriuhan kecil dengan celetukan-celetukan kekecewaan melihat kerja sama timnas U-23 yang tak sebaik para juniornya di timnas U-19 dalam mengolah ‘si kulit bundar’.

Lain cerita dengan sang ibu. Tidak ada komentar yang terlontar dari mulutnya manakala Yohanes Pahabol dkk seperti tak berdaya menembus pertahanan timnas Thailand. Namun, ibu malah sibuk mengucapkan nama Tuhan Allah memohon kemenangan bagi pasukan ‘merah-putih’.

Beliau seolah mengamini ajakan sang pembawa acara siaran langsung tersebut, mendoakan timnas agar menang dalam ajang bergengsi se-Asia Tenggara ini. Mulutnya pun kerap berkomat-kamit, tetapi mata tetap fokus menonton siaran langsung.

Asa masih digantungkan ke langit, manakala asisten wasit pertandingan mengangkat papan informasi tambahan waktu yang menandakan pertandingan akan segera berakhir dalam empat menit ke depan. Keadaan saat itu Indonesia tertinggal 0-1 lewat gol Sarawut Masuk.

Sayangnya, doa juga seakan enggan memberikan skill tambahan bagi pemain Indonesia. Bagaimana tidak, seorang Diego Michiels pun masih kerap melakukan kesalahan elementer: passing antar-pemain!

Tidak tanggung-tanggung! Paling tidak, dua kali pemain naturalisasi, yang dianggap lebih hebat dari pemain lokal ini memberikan umpan kepada pemain cadangan yang berada di luar lapangan.

Ya, Michiels justru membuang bola keluar lapangan bukan memberikan ke temannya yang sudah bersiap menerima umpan dan kemudian memberikan keuntungan kepada pemain Thailand, alih-alih mengejar ketertinggalan timnya sendiri.

Kekalahan sepertinya melekat dengan timnas U-23 maupun senior. Entah sampai kapan tradisi kalah dalam ajang sepak bola internasional berhasil diputuskan oleh mereka.

Hanya Tuhan yang Maha Agung pemilik jawaban itu. Saya, Anda, dan semua penikmat sepak bola Indonesia hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga, kekalahan 1-0 dari Thailand di Sea Games kali ini bukanlah musibah.

Ya, musibah seperti yang diucapkan oleh Ratu Atut manakala keluarganya ‘kalah’ dari KPK dalam kasus dugaan korupsi. 


-PO-



10/15/13

Pesan

Enet Le Miracle (kanan) menindih saya yang sedang tidur. Foto diambil Selasa (16/4/2013).
Dalam hitungan detik. Dan, klik! Tombol "update status" pun tertekan. Lalu, muncullah serangkaian kata: "Selamat idul Adha semuaaa". Tertayang rangkaian kalimat mengandung pesan dari seorang kawan-entah di mana ia memencet tombol tersebut-yang memang berjejaring dengan saya di media sosial Facebook.

Rangkaian kalimat lain pun turut menyusul. Kali ini dari teman yang lain, masih dengan nada pesan yang sama: ucapan selamat hari raya Idul Adha. Maklum, hari ini memang peringatan peristiwa kurban bagi umat Muslim.

Riuh. Begitu yang terpancar dari layar monitor komputer ini. Kalimat demi kalimat seolah saling bersahutan membawa pesannya masing-masing. Tentu, itu belum termasuk bingkai-bingkai foto yang memaktubkan pesan gambar dengan beragam gaya. Sebut saja mulai dari foto diri yang diringi dengan kalimat pujian "Cakep kan gue...," hingga gambar berbagai jenis makanan yang dipajang di dinding situs terpopuler di Indonesia ini.

Kata dan gambar pun merefleksikan pesan tersendiri. Pun demikian dengan makna yang menyertainya. Si pengirim dan penerima pesan sejatinya wajib berbagi pengalaman hidup yang sama. Tentu saja dalam upaya terciptanya kesepahaman. Atau, komunikasi yang efektif, begitu kata sang pakar Wilbur L. Schramm.

                                            *** 

Sabtu pagi yang cerah (12/10/2013), sekira pukul 05.30 WIB. Lengan kiri saya terasa terhantam sesuatu. Acuh. Saya pun tetap larut dalam lelap. Maklum, hari itu adalah hari libur dari pekerjaan kantor. 

Dalam sekejap, hantaman kembali menerjang. Bukan sekali, melainkan berkali-kali. Ini sudah terpola. Memunculkan sejuta tanya di benak. Hingga kemudian akhirnya tersadar ketika mulai membelalakkan mata dari pejam. Ah, ternyata sang putri tercinta. Pagi itu ia menunjukkan jati dirinya sebagai bayi 7 bulan: coba bergerak aktif. Termasuk berguling-guling hingga coba merangkak, meski acap menghantam berbagai benda seperti lengan saya, ayahandanya. 

"Selamat pagi, Enet.." ucap saya seraya menahan kantuk.

Sadar saat itu hari Sabtu, saya coba ambil kesempatan: memperpanjang waktu tidur. Ya, di hari kerja, pada jam segitu saya sudah mencapai setengah perjalanan menuju kantor di bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan.     

Belum juga mimpi indah menghampiri, sesuatu kembali mengusik saya. Kali ini lebih mengejutkan. Pasalnya, mata saya berlinangan air. Bukan air mata, melainkan air liur. Sebab, lidah Enet masih coba menjulur ke arah mata saya yang sudah mulai terjaga karena kaget.

Di tengah perasaan yang mulai teraduk bak isi perut mobil molen, saya melihat sebuah senyum coba dilemparkan buah hati saya. Efek ikutan pun tak terelakkan. Senyum lebar mengembang juga dari bibir saya. "Wuah, Enet bangunin Bapak, ya...?!" kata saya sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 06.30. "Makasih, ya sayang..."

Saya pun tersadar. Hari itu saya harus mengajar di Salemba untuk kelas jam 07.50. Alhasil, tanpa pikir panjang lagi, segera saya beranjak dari peraduan menuju kamar mandi setelah terlebih dahulu membelai putri saya dan menghujaninya dengan sejuta kecupan hangat sebagai wujud terima kasih atas air liurnya tadi. 

                                          ***

Kalau pesan ternyata hanya terbatas pada kata, kalimat dan gambar saja, bisa jadi manusia tidak akan menjadi mahluk yang sempurna. Pasalnya, pesan non-verbal seperti hantaman atau bahkan air liur yang dijulurkan ke mata saya justru yang melengkapi ragam pesan keturunan adam-hawa bahkan dari seorang bayi 7 bulan seperti Enet Le Miracle, anak saya. 

Bahkan, tulisan bejudul "Pesan" ini juga sejatinya menjadi pesan tersendiri. Soal makna? Terserah Anda... 



-PO-
23:27
15102013
*darisudutkamaryangpanas 

9/6/13

Say your love with origami

Two origami of birds taken from BlackBerry 8250 camera on Thursday night (5/9/2013) 


Indeed, there are so many ways to express love to your beloved ones. You name it! Starting from the simplest one just by saying "I love you" up to the complicated way with a well-planned surprise.

Which one do you prefer? It's totally your prerogative to choose. And it seems my wife has her own way to show it to our lovely daughter.

Yup, on Thursday night (5/9/2013), in the middle of our togetherness, Eva suddenly came up with a pack of paper. "Taraaaaa...look what I have here. It's paper to make origami...I want to make it for you," said Eva to our 6-month-old daughter Enet Le Miracle.

It was completely shocking as I never thought that Eva would come up with such a brilliant idea. A sort of different way to express love in a simple as well as worthwhile work.

"Here you go, origami of bird...." she uttered. "Mamak dan Bapak sayang Enet..." (an Indonesian expression of "we love you Enet..)


-PO-
6/9/2013
21.09

8/30/13

Jangan asal lahap, meski sudah lapar


Foto dikutip dari http://www.resepmakananbayi.net/bubur-apel.html  


Logika nggak jalan kalau nggak ada logistik..
Begitu bunyi bio akun twitter Benu Buloe. Agak nyentrik memang. Bahkan, bisa jadi mengandung tanda tanya bagi orang yang baru mendengar frase tersebut. Apa hubungannya logika dengan logistik? Lalu, apa pula maksudnya kalimat itu dituliskan sebagai bagian dari bio, yang acap diidentikkan dengan identitas dari pemilik akun mikroblogging tersebut.

Tentu, hubungannya lebih dari sekadar "baik-baik saja". Karena ada makna tersirat di dalamnya. Dan, jika kita coba bedah secara sintaksis, maka kata logika dan logistik seolah memiliki tautan tertentu yang merangkai sebuah makna di samping tentu saja logika dan logistik itu pula telah mengantongi maknanya masing-masing.

Ya, logika menjadi sebuah kata benda yang dimaknai sebagai sebuah hasil proses tesis-antitesis-sintesis dalam ranah filsafat. Sederhananya, meski itu kata benda, namun ada proses kerja di dalamnya: proses berargumentasi. Sementara, logistik acap disederhanakan ke dalam makna yang berkaitan dengan urusan perut: bisa makanan atau bahkan uang. Sungguh penyederhanaan yang sangat cepat, kalau tidak mau disebut sebagai dangkal. Sebab, logistik bermula pada akhir abad ke-19 di mana logistik menjadi sebuah pasokan kebutuhan militer dalam menjalankan tugasnya mulai dari senjata, amunisi, dan berbagai perlengkapan pendukung lainnya.

Jadi, dapatlah saya pahami bahwa Benu Buloe-kawan saya dulu semasa menjadi jurnalis Trans TV-coba memproklamirkan dirinya sebagai orang yang, paling tidak, melihat arti penting pasokan bagi sebuah proses kerja. Dan, karena Benu adalah seorang yang saya sebut sebagai wartawan kuliner, maka makanan dan logistik seolah memiliki tautannya secara otomatis.

Makanan menjadi kunci segalanya. Tidak hanya bagi Benu. Tapi berlaku umum. Karena memang itulah hakikatnya. "One should eat to live, not live to eat," kata artis kenamaan asal Prancis Jean-Baptiste Poquelin, atau biasa dikenal dengan nama panggung Moliere.

Ragam makanannya? Tentu saja ada banyak! Tapi, makanan yang pokok bisa dihitung jari. Sebut saja beras. Hampir dua miliar manusia di dunia ini memakannya. Utamanya mereka yang tinggal di Asia, Amerika Latin, dan beberapa wilayah Afrika. Ada juga makanan pokok lainnya seperti jagung, umbi-umbian, atau bahkan gandum.

Hanya saja, kita perlu hati-hati dalam mengonsumsi makanan itu. Jangan asal lahap meski sudah lapar! Jangan juga asal beri makanan kepada mereka yang lapar. Apalagi kalau itu adalah bayi yang masih berusia di bawah enam bulan.

Nah, setelah satu semester saya dan istri memberi makanan "ajaib" secara eksklusif kepada putri pertama kami, akhirnya Jumat sore (30/8/2013) kami memberikan makanan pendamping ASI untuk kali pertama. Akhirnya, putri kami makan bubur. Bubur instan Milna namanya. Semoga, bubur, yang di dalamnya terkandung tidak hanya makanan pokok beras tapi juga gula, jagung, bahkan berbagai vitamin, bisa memenuhi kebutuhan tumbuh-kembang dirinya secara utuh. Tidak hanya menjalankan logika.


-PO-
01.23 WIB
01/09/2013

8/29/13

Rating & Share

Image courtesy of http://www.integratedmortgageplanners.com/blog/first-time-home-buyers/the-mortgage-qualifying-rate-mqr/

Number of TV households tuned in
______________________________    =  Rating Figure

Total number of TV households


  • For example, if 75 households of your rating sample of 500 households are tuned to your show, your show will have a rating of 15 (the decimal point is dropped when the rating figure is given)
          75
          ___  = 0.15 = 15 rating points

          500


TV households tuned to your station
_______________________________  =  Share

All households using television (HUT)


  • For example, if only 200 of the sample households have their sets actually in use (HUT = 200 = 100 percent), the 75 households tuned into your program constitute a share of 38:

          75
         ___  = 0.375 = Share of 38

         200


*(Zettl, 2003 : 428)
**Dedicated to all broadcasters who are still confused with the terminology of rating and share in television..

8/7/13

Cinta dalam Semangkuk Minyak Kemiri

Minyak kemiri dalam mangkuk yang dimasak tanpa pengawet selama sekitar 2 jam, Selasa (06/08/2013). Foto koleksi pribadi diambil dengan kamera henpon.

"I love you, easy to say but it takes a long time to prove..."

Mari kita bicara cinta (lagi)... 

Hmm..saya berasumsi Anda bosan bicara cinta. Entah itu karena Anda belum mendapatkan cinta sejati, atau justru karena sedang ketiban pulung: patah hati (lagi), atau mungkin Anda muak mendengar kata cinta karena cinta menjadi seonggok mahluk yang terlalu "basi" untuk dibicarakan. 

Baiklah. Anggaplah asumsi itu benar. Jadi, lebih baik kita sudahi saja bicara cinta.

Tapi, saya masih ingin melanjutkan tulisan ini. 

Izinkan saya sedikit mengganti ajakan tadi dengan: 

Mari kita buktikan cinta...

Ya, seharusnya sedikit lebih baik. Sebab, kali ini cinta akan berwujud. Tidak lagi abstrak, se-abstrak rayuan gombal ala Alay : "Neng, Tanah Abang luas loh..Kalau ndak percaya, tanya saja sama orang-orang".

Lalu, apa bukti cinta itu? 

Banyak! Bahkan teramat banyak! Dulu, ketika saya masih ABG (Anak Baru Gede) seringkali saya dengar kawan-kawan yang berpacaran (pria-wanita) mengatakan bahwa kalau ciuman (di bibir) menjadi hal yang lazim sebagai bukti cinta. Beranjak dewasa, saya mendengar kisah lain. Bahwa kalau memang cinta, "Yuk, bajunya dibuka dong biar kita bisa bercinta.."

Membayari ketika sedang beli makanan atau barang-barang lain juga acap dijadikan bukti kadar cinta seseorang.

Lain cerita dengan pengunjung jembatan Hohenzollernbrucke di Koln, Jerman. Tahun 2010 saya menyaksikan bagaimana warga Koln atau turis yang mengunjungi jembatan itu berlomba-lomba menunjukkan bukti cinta mereka dengan sebuah gembok yang dikuncikan di sela-sela sisi jembatan tersebut. Uniknya, simbol cinta dalam gembok itu tidak hanya milik mereka yang berpasangan seperti pria-wanita, tapi juga pasangan sejenis. Tidak hanya itu, mereka yang satu keluarga juga terlihat ikut memasangkan gembok di jembatan yang dibangun antara tahun 1907 dan 1911 tersebut. 



Pasangan pria-wanita melintasi jembatan Hohenzollernbrucke di Koln, Jerman yang dipenuhi dengan "gembok cinta" di satu sisinya. Image courtesy of http://hungeree.com/culture/the-love-locks-of-cologne-germany/


Tentu saja, gembok yang ditautkan dijembatan yang melintasi sungai Rhine itu bukanlah gembok biasa, melainkan sebuah gembok yang sudah digrafir dengan kata-kata tertentu (biasanya nama yang bersangkutan dan tanggal pemasangan gembok itu).  


Sebuah ungkapan cinta yang diukir di gembok: "A promise of love to our family". Image courtesy of http://journals.worldnomads.com/amy_velleman/photo/36714/917552/France/For-me-this-image-symbolises-Paris-more-traditionally-known-as-the-city-of-love 

Jelas sudah. Bukti cinta, bayaklah ragamnya. Mulai dari sekadar untaian kata-kata romantis, atau memberikan pengorbanan tertentu, hingga membuat beragam simbol cinta seperti rentetan gembok di jembatan (fenomena simbol cinta di jembatan juga terdapat di beberapa negara di Eropa dan Australia).

Saya juga tak mau ketinggalan  buktikan cinta kepada pasangan dan anak perempuan saya. Merelakan waktu tidak kurang dari dua jam untuk menemani istri menggongseng kemiri pada Selasa (07/08/2013) semoga menjadi bukti cinta itu sendiri. Ini menjadi lebih berarti manakala hasil minyak kemiri itu akan kami oleskan di kepala puteri kami demi mendapatkan rambut yang tebal dan berwarna hitam bak mahkota yang indah.

Hmmm,...apalah artinya bukti cinta itu? Bunda Teresa pernah berujar, "Not all of us can do great things. But we can do small things with great love". Ya, semoga menemani istri menggongseng minyak kemiri demi sang puteri jadi hal kecil yang membuktikan besarnya cinta itu sendiri..


-PO-
070812
16.03 WIB
 

7/27/13

Teh, Televisi, dan Munarman

Image courtesy of http://nasional.inilah.com/read/detail/2004688/munarman-fpi-siram-air-teh-ke-sosiolog-ui#.UfPAUNJcxtg
Pada suatu Minggu pagi. Libur dari pekerjaan kantor dan cuaca yang cerah. Saya pun masih terbaring di kasur. Bukan untuk berleyeh-leyeh tapi karena lemas akibat diare.
“Pir, ini teh panasmu. Minum dulu,” ujar ibu saya sambil menyuguhkan segelas teh tawar panas. “Habiskan. Biar segera berhenti diaremu”.

Ya, orangtua saya meyakini bahwa teh tawar panas mampu menjadi penawar diare yang cukup ampuh. Keyakinan itu beliau percaya secara turun temurun. Bahkan, konon, ada jutaan orang Indonesia yang berkeyakinan sama dengan orangtua saya.

Soal benar-salah, tentu masih harus dipertanyakan. Sebab, keyakinan itu dilandasi mitos belaka, bukan alasan ilmiah.

Nah, secara ilmiah teh digadang-gadang memiliki beberapa khasiat, mulai dari mampu mencegah penyakit alzheimer hingga dipercaya mampu membantu proses penyembuhan penyakit kanker.

Teh & Khasiatnya
Peneliti meyakini bahwa kandungan kafein dan theanine yang terdapat dalam teh itulah yang kemudian membawa dampak pada penguatan daya ingat. Sementara kandungan antioksidan pada teh ditemukan mampu mencegah kanker dan tumor. Tidak hanya itu, penelitian lain juga menemukan khasiat antioksidan pada teh yang luar biasa: mampu mengurangi resiko stroke hingga 60% dan mampu menurunkan kondisi aterosklerosis (pengerasan & penyempitan pada pembuluh darah) hingga lebih dari 50% yang berujung pada mampu mencegah terjadinya penyakit jantung.

Cukup di situ? Tidak! Di dunia kecantikan, penelitian membuktikan bahwa kandungan katekin (catechins) pada teh hijau mampu memicu penurunan berat badan. Bahkan, teh juga baik untuk kesehatan gigi. Sebab, teh mengandung fluoride alami.

Sayangnya, dari sekian banyak khasiat teh tersebut, ternyata, masih kurang mampu meningkatkan jumlah konsumsi teh bangsa Indonesia. Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia, konsumsi rata-rata teh masyarakat Indonesia pada 2012 sebanyak 5.162 ons per kapita setahun, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6.570 ons per kapita setahun. Kalau dirata-rata per orang, maka konsumsi teh per orang dalam satu tahun hanya sekitar 300 gram. Tentu ini jauh di bawah tingkat konsumsi teh negara lain yang bisa mencapai konsumsi 1000 gram per orang (misalnya: Australia: 600 gr per orang per tahun; Sri Lanka:1370 gram per orang per tahun). Alhasil, Indonesia hanya nangkring pada urutan ke 46 negara pengonsumsi teh di dunia.

Fakta ini jelas menjadi ironi tersendiri mengingat kebiasaan minum teh dianggap telah menjadi kebudayaan yang melekat dalam setiap suku bangsa Indonesia. Di Jawa Barat, misalnya. Hampir setiap warung makan atau bahkan restoran yang ada di daerah yang memiliki populasi paling padat se-Indonesia itu-menurut database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 populasinya mencapai 46.497.175 juta jiwa-senantiasa menyajikan teh sebagai suguhan utama menu mereka. Bahkan, ada yang mengganti air putih dengan teh.    

Ah, jangan-jangan kebiasaan minum teh di Indonesia belum menjadi sebuah budaya yang sesungguhnya seperti di Jepang atau Cina, di mana kedua negara itu memiliki ritual khusus dalam mengonsumsi teh.
Atau, mungkin kebiasaan minum teh belum tersosialisasi dengan maksimal?

Televisi & Kekerasan
Coba simak saja program-program kuliner di televisi di Indonesia. Rasanya, sudah cukup banyak kok acara yang menampilkan menu makanan dengan berbagai jenis teh sebagai minuman pendampingnya. Kalau begitu, apakah ini malah menjadi pertanda bahwa kemampuan televisi dalam menciptakan gaya hidup dan berkuasa mendefinisikan norma-norma budaya pada khalayaknya, seperti yang dicetuskan DeFleur (1970) dalam teori norma budaya (the norm and cultural theory), sudah kehilangan taji?

Atau, bisa jadi telah terjadi pergeseran cara pandang khalayak televisi Indonesia dalam memaknai tayangan-tayangan televisi tersebut?

Khalayak televisi Indonesia mungkin tidak lagi memaknai kegiatan minum teh sebagai mana mestinya. Tapi, sebaliknya. Khalayak punya interpretasi yang berbeda. Bagi mereka, khususnya yang telah terterpa tayangan dialog di program Apa Kabar Indonesia di TV One (28/06/2013), minum teh bukan lagi berfungsi sebagai minuman. Tapi, teh bisa digunakan sebagai alat kekerasan seperti yang dilakukan oleh Munarman, jubir FPI, pada dialog tersebut ketika menyiramkan teh ke wajah Sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola.

Kalau sudah begini, saya pribadi akan memilih meminum teh, seperti yang dianjurkan oleh ibu saya. Meskipun meminum teh yang menyembuhkan diare itu bisa jadi hanya mitos. Tapi, paling tidak saya tidak terlibat dalam tindak kekerasan yang ternyata menurut data Kementerian Dalam Negeri tahun 2012, kasus radikalisme meningkat hampir 80 persen dari tahun sebelumnya.

-PO-

6/30/13

Aku Berbohong Maka Aku Ada

Ilustrasi Pinokio yang diambil dari http://socialsimplicity.blogspot.com/2011/12/oversharing-is-not-honesty.html. Pinokio adalah tokoh rekaan produksi Walt Disney Company pada tahun 1940 dalam film "Pinocchio"

Filsuf asal Prancis, Rene Desacartes, boleh saja memiliki ungkapan fenomenal seperti Cogito Ergo Sum: Aku berpikir maka aku hidup. Tapi, itu tidak berlaku bagi saya. Sebab, menurut saya bukan berpikir yang membuat orang hidup, tetapi kebohongan atau berbohong menjadikan orang itu hidup!

Jangan cemas apalagi khawatir dengan ungkapan saya itu. Panas kuping sih boleh, tapi hati harus tetap dingin. Kenapa? Karena tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak pernah berbohong.

Soal bohong membohongi ini sejatinya akan jadi cerita yang panjang dan sangat rentan untuk diperdebatkan. Tapi, lagi, saya tidak tertarik untuk berdebat apalagi mempertahankan argumentasi yang bisa jadi berpotensi terselip kebohongan di dalamnya. 

Malam ini saya tergelitik dengan terminologi kebohongan setelah membaca berita tentang Maradona yang menolak hadir di Makassar dan enggan memberikan coaching clinic kepada anak-anak di stadion Gelora Bung Karno, Jakarta (ada beragam versi judul berita soal ini, namun intinya tetap sama: Maradona menolak memenuhi agenda panitia).

Yang menarik, ternyata, Maradona mempunyai alasan kuat untuk menolak agenda-agenda tersebut. "Saya sudah tahu ada SSB Boca Juniors Indonesia. Tapi, saya tak tahu bila ada kontrak untuk memimpin coaching clinic. Ada yang berbohong soal ini. Saya pasti mau melatih anak-anak tersebut. Jadi, jangan pernah berbohong kepada anak-anak," tegas Maradona seperti dilansir kompas.com (lihat: http://bola.kompas.com/read/2013/06/30/1746170/Maradona.Tak.Merasa.Ada.Kontrak.Coaching.Clinic).

Ya, Maradona merasa dibohongi! Maradona merasa, panitia, yaitu Badan Sepakbola Rakyat Indonesia (BASRI), telah membohongi dirinya. Dalam berita (dari link di atas) juga tertulis bahwa panitia tidak merasa melakukan seperti apa yang dikatakan Maradona.

Ah, mana yang benar? Akan pusing kita kalau berkutat di situ-situ saja.

Nah, supaya tidak pusing kita kembalikan saja semua ke 'khittah'-nya: "Aku Berbohong Maka Aku Ada".



*..in the end, it's not going to matter how many lies you took, but how many moments took your truths away.




-PO-
darikeheninganmalamdikamarkerjabersamaanakistriyangsudahterlelap
22:53 WIB

6/9/13

Tardidi

Suasana gereja HKBP Sudirman, Jakarta, pada Minggu (02/06/2013) sesaat sebelum prosesi tardidi dimulai.
Selalu ada penanda dalam hidup manusia. Kok, bisa? Tentu saja. Wong, manusia adalah homo significan. Artinya, meaning makers!

Nah, mari kita biarkan soal tanda, penanda, makna, dan tetek bengek penyertanya itu menjadi kajian ilmu semiotika. Tak perlulah saya dan Anda terlalu jauh menyelami bidang itu. Bisa satu semester sendiri nanti waktu yang tersita untuk bicara soal itu.

Sesungguhnya saya mau bicara soal tanda kepemilikan manusia. Maksudnya? Ya, kalau Anda mengaku memiliki nama tertentu, mari kita sebut saja dia 'Bunga', maka secara otomatis akan ada tanda yang mengidentifikasikan kepemilikan nama Anda itu. Bisa itu akta lahir atau juga KTP.

Nah, dalam keyakinan ber-Tuhan yang saya anut, anak adalah milik Tuhan. Oleh sebab itu, harus pula ada penanda bahwa dia telah menjadi milik Tuhan, yang dalam hal ini adalah Yesus Kristus.

Dan, tardidi-bahasa batak dari baptis-menjadi sebuah penanda anak telah resmi menjadi milik Tuhan Yesus Kristus. Minggu lalu (02/06/2013) saya, istri, dan keluarga besar membawa Enet Le Miracle-puteri pertama saya-ke gereja HKBP Sudirman, Jakarta untuk dibaptis. Adalah pendeta DR. Dewi Sri yang dipakai Tuhan sebagai orang yang membaptisnya.

Lalu? Ya, sudah bisa diterkalah, tentu saja. Namanya saja sudah jadi milik. Pasti akan dijaga dan terlebih lagi dikasihani. Kalau sudah begitu, apa yang kurang dalam menjalani hidup ini? Tenang sudah!

Rasa itu pula yang kemudian kami syukuri pada hari yang sama dengan menggelar pesta syukuran. Ya, saya menyebutnya pesta, meski dilakukan di rumah. Kenapa? Sebab, acara syukuran itu memakan biaya yang cukup besar. Tidak kurang dari 13 juta rupiah ludes sudah.

Semoga saja, itu bukan bentuk pemborosan kami, tapi ungkapan rasa syukur yang tak ternilai atas karya penyelamatan dan kasih Tuhan terhadap keturunan pertama kami yang membawa keajaiban: Le Miracle!


-PO-
090613
23:40
*daripengapnyakamartidur

5/19/13

19

image courtesy of http://www.egf.k12.mn.us/nh_home.html

Once upon a time on 19 May 2012...
There was a guy who made a vow in front of Batak Christian Protestant Church Congregations to marry a beautiful lady.

Once upon a time on 19 March 2013...
A pretty baby girl was born at RS Medistra, Jakarta.

Here comes 19 May 2013...
The first anniversary of the vow and the second month of the baby girl have just been commemorated.

May God bless the couple and their child...





-PO-
01.29WIB
200513




5/15/13

Perihal Senyum

Children learn to smile from their parents (Shinichi Suzuki)

Saya paling suka tersenyum. Aneh? Bisa jadi. Tapi, dengan senyum yang mengembang di bibir saya, ada rasa positif yang membuncah di dalam diri ini. 

Setali tiga uang dengan itu, beberapa ahli psikologi juga mencatat bahwa salah satu manfaat senyum adalah bisa membantu orang tetap positif. Itu belum seberapa. Ahli psikologi lain Walsh & Hewitt (1985) bahkan bicara soal senyum dari sisi yang lebih menarik. Soal ketertarikan antara pria-wanita tentu saja. 'Pada wanita yang menatap pria tepat di matanya, maka ia berpeluang 20% untuk didekati. Namun, jika tatapan itu dibumbui dengan senyuman maka akan ada 60% peluang dia disambangi oleh pria tersebut,' begitu paparnya.

Memang, senyum seperti misteri yang berdampak luas. Termasuk juga dampak negatif? Hmm..ada baiknya saya longkapi soal yang negatif itu. Rasanya kok jadi bagaimana, begitu...Hayo senyum dulu dong :)

Nah, soal manfaat senyum dan dampak positif senyum inilah yang mendorong saya dan istri merangsang Enet Le Miracle, sang buah hati untuk tersenyum. Selasa malam (14/05/2013) menjadi hari bersejarah bagi keluarga kecil kami. Sebab, di malam itulah saya dan istri mendapatkan kejutan dari anak kami. 

"Enet...hayo, senyumnya mana?" goda saya ke sang buah hati.

"Iya, Enet. Senyum dong.." timpal mamaknya sedetik kemudian.

Dan...


Enet Le Miracle tersenyum ketika difoto dengan kamera  handphone.


Kami sontak teriak kegirangan. Karena Enet, yang tanggal 19 Mei nanti genap berusia 2 bulan, memberikan kami senyuman. Meskipun itu hanya berlangsung kurang dari 10 detik. Tapi, paling tidak senyumnya membawa rasa positif di tengah-tengah keluarga kami.

Senyum yang perdana ini seolah mengamini apa yang dikatakan oleh dokter anak ternama, David Geller, "First social smile may appear as early as 6 weeks, but it's unlikely to be a regular feature for quite a while. Generally, babies smile readily by 12 weeks, and by 6 months most smile ecstatically at the people they know best."

Ah, senyum acap berkorelasi dengan sesuatu yang positif. Tapi, perlu diwaspadai. Jika saya dan Anda tiba-tiba saja atau bahkan seringkali tersenyum tanpa alasan yang jelas, ada baiknya segera menghubungi psikolog atau bahkan pskiater terdekat..hehehe.senyum dulu dong :)



-PO-
*darisudutkamaryangsejukdenganditemaniistridansibuahhati
150513
23.10 WIB


5/13/13

Kisah tentang henpon

Seberapa penting henpon alias telepon seluler bagi Anda? Penting. Bahkan teramat penting. Bisa jadi demikian. Apalagi bila menyimak jawaban seorang mahasiswi ketika ditanya dosennya, "Mana KHK-mu (baca: Kartu Hadir Kuliah-sebuah kartu absensi yang wajib dibawa mahasiswa setiap mengikuti perkuliahan untuk kemudian ditandatangani oleh dosen yang mengampu kuliah tersebut)?"

"Lupa, Pak.." jawab mahasiswi itu sambil tersipu-sipu malu.

"Kalau henpon-mu, bawa kan?"

"Hehehe..bawa, Pak"

"Bagus!" timpal sang dosen menutup dialognya dengan mahasiswi tadi.

Begitulah. Sebuah alat komunikasi seluler sudah jadi barang wajib yang tak boleh luput ditenteng ke manapun. Pernah sekali seorang kawan berujar, "Handphone itu sekarang-sekarang ini sudah jadi pasangan kedua dalam hidup kita, Bro.."

Yang namanya pasangan, biasanya selalu ingin yang terbaik. Yah, terbaik dalam segala hal. Kualitas tentu saja. Begitu juga dengan henpon. Orang berlomba-lomba dapatkan kualitas henpon yang terbaik. Meski, dengan berbagai cara.

Tadi siang, saya terkesima dengan telepon genggam baru rekan kerja di kantor (sebenarnya secara struktural kawan ini berada di bawah saya, namun demi menjaga stabilitas pertemanan, saya memilih menyebutnya dengan rekan kerja saja..heuheuheu..) Paling tidak, saya baru melihat jenis henpon yang sedang ia genggam itu. "Ini iPhone 4, Pak" katanya ketika saya tanya jenis telepon seluler yang baru saya lihat itu.

iPhone 4 **


Keren. Saya mencoba membandingkan dengan telepon seluler milik saya. Ah, agak minder jadinya. Maklum, milik saya hanyalah sebuah telepon genggam merek Nokia seri....hm, maaf saya lupa. Terlalu jadul untuk diingat. Pokoknya, bukan telepon pintar dan hanya bisa sesekali telepon, seringkali sms. Ups, maaf terbalik. Maksudnya, seringkali telepon, sesekali sms (sebab, dengan layanan operator yang saya ikuti: pascabayar, telepon kapanpun dan ke manapun bukan lagi hambatan seperti yang acap dirasakan oleh mereka yang berlangganan operator telepon prabayar).

Satu hal yang membuat saya cukup berbesar hati adalah telepon milik saya itu saya dapat dalam kondisi fresh from the oven. Baru. Masih disegel. Sementara, iPhone 4 sang kawan tadi, "Saya beli second di Kaskus, Pak tiga hari yang lalu". Wuah, kalau ukuran henpon sebagai pasangan dilihat dari baru atau bekasnya barang itu, kira-kira gimana ya perasaan pasangannya? hmmm....





-PO-
140513
00.10 WIB
*darisudutkamaryangsejuk
**image courtesy of  http://www.macmyth.com/2011/04/iphone4-arrives-in-india.html

4/5/13

Bola Mata Ajaib

Mata, sejatinya, memancarkan kecantikan dan perasaan yang dalam. Bukan sekadar fisik belaka (Sophia Loren) 

Dan, kecantikan itu pula yang ku rasa memancar dari dua bola mata puteri pertamaku, Enet Le Miracle. Jelas ku lihat pancaran sinar kedamaian itu lewat foto yang dikirimkan oleh mamaknya tadi sore. Harapanku, indahnya sinar mata itu pula yang terus terjaga dan menjadi keajaiban bagi dunia ini. Ya, keajaiban: Le Miracle!



-PO-
050413
23:56
*darisejuknyakamarsebelah* 

2/5/13

Teguran

Selamat datang 2013. Selamat datang Februari 2013. Selamat bagi kita semua yang telah diberkahi-Nya melewati masa silam.

Juga selamat bagi seorang kawan yang baru saja melepaskan masa lajang di Minggu siang (03/02/2013). Ya, kawan sekaligus senior di kampus 'Makara' dulu, juga rekan kerja di kantor saat ini.

Semoga saja, ucapan selamat ini seperti hal yang dipercaya orang Barat sebagai sebuah etika baik dalam berhubungan antarmanusia, juga dimaknai sebagai teguran yang bisa bermakna luas. Tidak hanya menunjukkan eksistensi tapi juga peringatan dan penanda bahwa jika dalam ucapan selamat ini tidak ada perubahan, misalnya perubahan dari seringkali terlambat masuk kantor atau bersikap tidak assertive maka, sia-sialah semua ucapan itu. Pasalnya, hubungan baik antarmanusia bisa menjadi tidak lagi harmonis, sejatinya...




-PO-
00:04 WIB
060213
*darikepengapankamardankepenatanotak