5/27/10

Mau jadi Koki!!


Ya...begitulah jawaban seorang bocah berusia lima setengah tahun yang saya dan kawan saya wawancarai siang tadi.

Namanya Rasyid. Ia baru akan mendaftarkan diri masuk Sekolah Dasar di bilangan Jakarta Pusat. Namun, ketika ditanya soal cita-cita. Ia tidak ragu-ragu dalam menjawab. Tidak hanya itu, Rasyid pu ternyata cukup fasih dalam menuturkan argumen pilihan cita-citanya tersebut. "Enak aja jadi koki..bisa masak enak...bikin adonan kue...trus makan ikan..."jelasnya dengan wajah berseri-seri.

Sungguh jawaban luar biasa. Bukan hanya berbeda dari anak-anak sebayanya yang kerap kali bercita-cita menjadi dokter atau bahkan presiden. Malah, Rasyid berketetapan hati ingin jadi koki.

Saat itu, pikiran saya berkecamuk. Kira-kira pada saat usia seperti Rasyid, apa yang saya cita-citakan ya...??? "Nggak tahu tuh..."jawab saya dengan polos suatu waktu di usia lima tahun-an ketika menjawab orang lain yang menanyakan cita-cita saya.


-PO-
(yangsedangmerinduakanmasalalu)
22:32

Buruh V.s Pengusaha



Bagi para melek ilmu pengetahuan, perseteruan antara kaum buruh dan pengusaha sudah berlangsung sejak lama. Tercatat, tokoh yang membukukan teori perseteruan itu dalam buku fenomenal 'Das Kapital', fenomena itu telah ada sejak 1848. Dan..Karl Marx-lah tokoh di belakang layar buku tadi.

Bahkan, hingga siang hari tadi saya masih merasakan nuansa perseteruan antara kaum pemilik modal dan buruh tersebut. Ini terjadi tepat ketika saya melakukan liputan personalisasi seorang orang tua murid yang akan mendaftarkan anaknya masuk sekolah SD yang berstandar internasional.

Apa yang membuat saya-malam ini-menarikan jemari di atas tuts komputer ini bukanlah tentang isi dari liputan tersebut, melainkan bagaimana sang orang tua tadi senantiasa di hampir tiga perempat waktu perjumpaan kita-di rumahnya di Jl. Talang Jakarta Pusat- membicarakan betapa menarik dan menguntungkannya menjadi pengusaha.

"Iya Bang...mumpung masih muda seperti Abang ini..coba deh bikin bisnis.."jelas wanita berperawakan cantik usia 48 tahun tersebut. Baginya, berbisnis atau menjadi pengusaha sudah harus dilakukan sejak muda seperti yang dilakukannya dahulu kala. Wanita berdarah Sunda kelahiran Jakarta ini pun berkisah bahwa pada tahun 1986 ia telah memulai usaha konveksi dengan menjahitkan sendiri seluruh baju pesanan. Uniknya, keterampilan menjahit tersebut ia peroleh melalui pendidikan yang berbeda dengan pendidikan formalnya sebagai pendidik di Fakultas keguruan IKIP Jakarta. Perempuan yang telah keguguran 13 anaknya tersebut belajar sendiri dalam menjahit.

"Oh..menarik itu bu...saya juga berencana ke arah sana kok nantinya..."timpal saya sekenanya. Ya, sekenanya. Pasalnya, pada saat itu bagi saya perbincangan seperti itu, jika dilakukan dalam konteks liputan, hanyalah bagian dari mencairkan suasana untuk kemudian memperoleh hasil liputan yang maksimal.

Namun, ternyata saya baru sadar. Menjadi pengusaha memang benar-benar menarik hingga saya terus memikirkannya dan akhirnya menumpahkan semua itu dalam new post malam ini. Menarik! tentu saja karena ada iming-iming keuntungan yang besar yang diraup. Saya ambil contoh dari apa yang dikisahkan oleh sang Ibu satu anak tadi. Dari usaha konveksinya itu, Ia bisa meraih keuntungan maksimal sehari hingga 50 juta.

WOW!!! Batin saya berteriak mendengar kisah tersebut. Terang saja saya terkejut. Kalau dibandingkan dengan saya yang hanya bergaji kurang dari lima juta per bulan ini, penghasilan tersebut jelas sangat amat mencengangkan. "Kapan coba gua bisa dapat uang sebegitu kalau cuma masih jadi karyawan tok??" tanya saya kepada si Pir Owners.

Namun, yang lebih menarik adalah sisi sebaliknya. Pada tahun 2007 si Ibu pernah mencoba ekspansi bisnis ke bidang lain: konstruksi dan supplier konveksi dan atribut partai. Kali ini beda cerita. Bukan berpuluh-puluh juta yang ditengguk, malah Ia harus rela melepas dengan tenang 1,5 Miliar modalnya untuk mendapatkan proyek-proyek tersebut. Yang ternyana, setelah diceritakan lebih lanjut, hal itu terjadi karena beliau tertipu oleh rekan bisnisnya sendiri.

Lengkap sudah daya tarik menjadi pengusaha itu. Satu sisi, jelas ada harapan meraih berlimpah-limpah uang masuk ke kocek kita. Namun, di sisi lain, kemungkinan untuk terpuruk karena merugipun terkadang atau bahkan seringkali tidak bisa dihindari. Semua itu bak 2 sisi pada koin yang saling melengkapi.

Saya sendiri rencananya akan merealisasikan hidup berbisnis. Dan itu harus segera terealisasi. HARUS!!! Mengapa? Saya terpikir, sungguh sangat tersiksa jika saya harus terus memburuh sampai akhir hayat. Atau... katakanlah hingga usia pensiun: 55-60 tahun. Lalu, kapan kita bisa menikmati apa yang telah kita capai tadi? Asumsi saya adalah ketika sudah pensiun kita bisa punya waktu luang cukup banyak untuk berleha-leha dengan pencapaian selama kita memburuh. Karena tentu saja saat itu kita 'libur' sepanjang hari dari kerja. Namun, di usia yang sudah tidak enerjik lagi dan tentu saja akan banyak larangan dari dokter untuk membatasi makan makanan yang enak-tentu saja yang penuh dengan resiko penyakit seperti lemak, kolesterol, dan sebagainya; apa yang bisa kita harapkan untuk mengisi waktu 'libur' tersebut??

Dalam konteks itulah kita harus menjadi pengusaha dengan kondisi bahwa kitalah yang mengatur waktu libur dan waktu kerja kita. "Kan enak tuh..masih usia 40 tahun gua udah 'cuti'..terus bisa jalan-jalan en makan-makan yang enak deh" celoteh saya dalam benak.

Namun, lagi-lagi itu adalah harapan dan rencana. Tapi..Tuhanlah tetap yang berkehendak!!! Dan saya pun memegang teguh janji Tuhan yang berkata: "Sebab aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan"

Amien!!!



-PO-
(manusiayangpenuhdenganambisinamunterbatasdalamkondisi)
22:06 AM

5/23/10

Buah Pergaulan

Ilustrasi dari http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:gk9SAm7j1e1qQM:http://kfk.kompas.com/system/files/imagecache/sfk_preview_600x600/Brompit_1.JPG



Anda punya kawan??!!

Seratus persen saya bisa pastikan, selama Anda masih manusia yang berkodrat sebagai mahluk sosial, tentu saja Anda punya Kawan. Namun, pertanyaan lanjutannya adalah seberapa banyak kawan Anda??

Dan bisa jadi, lagi-lagi, untuk pertanyaan tersebut Anda akan menjawab: Banyak! Kemudian, jika ditelusuri lebih jauh lagi, "Kenalkah Anda dengan kawan Anda yang banyak itu??" Saya meragukannya dengan amat sangat.

Mengapa??? Jawabannya ada pada pengalaman saya malam ini.

Ketika saya sedang dalam angkutan kota atau angkot, tiba-tiba saja ada seorang pengendara sepeda motor yang memanggil-manggil nama saya. "Pir...Pir...Mau kemana lu?" Sontak saya pun terkesiap, "Hei..mau ke....Pasar Minggu Mas...eh nggak deng..Balai Rakyat deng tepatnya.."

Malam itu, suasana jalanan sedang macet karena ada galian jalan untuk underpass di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Itulah sebabnya saya dan sang pengendara motor tadi bisa saling bertegur sapa melalui pintu belakang angkot yang memang selalu terbuka. "Udeh naik motor gua aja, gua mau ke arah Ampera kok. Lewat situ kok (baca: Balai Rakyat)," balasnya sejurus kemudian sambil menggelengkan kepala ke arah jok belakang motor Yamaha Jupiternya pertanda ajakan untuk membonceng saya.

Usai membayar seribu rupiah kepada sang supir angkot tadi, saya pun melaju bersama sang pengendara motor. Murah memang, pasalnya, saya belum lebih dari 100 meter menumpang angkutan kota jenis mikrolet tersebut. Kalau dihitung-hitung, jika saya harus tetap menumpang angkot sampai tempat tujuan saya, maka sayapun harus membayar ongkos sebesar tiga ribu rupiah. Tidak hanya itu, dari sana, saya masih harus menumpang angkot lagi ke rumah saya. Dan ongkosnya untuk itu cukup seribu rupiah. Jadi, jika ditotal-total...ongkos yang diperlukan adalah empat ribu rupiah.
Nah, karena saya telah dibonceng oleh sang pengendara motor tadi maka sayapun tidak perlu membayar itu semua.
Bahkan saya tidak perlu repot-repot transit angkot-yang tentu saja akan memakan sejumlah energi, waktu, dan pastinya materi-untuk bisa tiba di rumah. Hanya seribu rupiah tadilah yang 'melayang'.

"Kemarenan gua ketemu Mahdi tuh...," teriak sang pengendara motor sambil sesekali melengoskan kepalanya ke belakang. "Oh iya...," balas saya sekenanya. "Iya...si Juman..juga katanya masuk malam terus tuh..," lanjut cerita sang pengendara motor yang sudah lebih dari empat kali dia menyebut nama orang yang berbeda. Dan kesemuanya itu adalah kawan-kawan di tempat kerja saya.

Roda motor terus berputar. Rumah sayapun saya tinggal sepelemparan batu. Namun, sang pengendara motor masih asik meracau tentang dia, kawan-kawannya-yang juga notabene kawan saya juga, dan berbagai kisah terkait lainnya.

"Bro..gua turunnya di gang depan itu aja yak...itu gang-an gua," celetuk saya memotong cerita sang pengendara motor setelah 15 menit perjalanan. Sebagai perbandingan saja, kalau saya tetap naik angkot tadi, maka biasanya saya baru tiba di rumah setelah sekitar 45 menit perjalanan. "Ya sudah..gua duluan lah yak..sampai ketemu lagi," tutup si pengendara motor mengakhiri percakapan kami.

Dan hingga saya tiba di rumahpun, saya masih bertanya-tanya. Siapa gerangan nama dari pengendara motor tersebut. Saya percaya, dia adalah salah satu dari kawan saya. Tidak hanya itu, saya juga yakin ketika dulu saya bergaul dengan sang pengendara motor tadi saya pasti dipandang baik dalam bergaul. Sehingga tidak heran, malam ini sang pengendara motor itupun 'mencoba' membalas kebaikan yang saya juga tidak ingat persis dimana saya pernah melakukan itu kepadanya.



-PO-
(darisudutkamar)
03:14 AM

Di antara..




Terang berpamit..
Gelap pun datang...
Dan..
Remang bergeliat di antara..

Putih memudar..
Hitam memekat..
Dan..
Abu-abu menyeruak di antara..

Hasrat membuncah..
Namun langkah tertunda..
Dan..
Sesal berada di antara..



-PO-
(dariterminalgundahgulana)
01:11 Am

5/1/10

Saya bersedih!!!


Ya..saya sedang bersedih. Sangat amat sedih!!!

Mamak saya tercinta sakit! Dan ternyata beliau telah sakit sejak tiga bulan yang lalu. Sayangnya, saya baru tahu hari ini. Ya...hari ini dari seorang teman, bukan dari mulut beliau langsung.

"iya..jadi ketika minggu awal kau di Belanda, Namboru (panggilan sopan untuk seorang wanita tua dewasa dalam bahasa batak-red) sempat dirawat di MMC. Dia dikuret karena bleeding...," jelas kawan tadi.

Saya kaget bukan kepalang! "Kenapa aku baru diberi tahu sekarang...," timpal saya ketika itu. Ternyata Mamak saya tidak ingin kedua anaknya yang sedang merantau jauh (saya di Belanda dan adik saya di Tentena, Poso) mendengar berita buruk itu.

Entah ada hubungannya atau tidak, tapi...sejak minggu-minggu awal di negeri kincir angin saya merasakan ada yang janggal dalam hati ini. Tapi...lagi-lagi, saya anggap angin lalu saja. Bisa jadi itu ada kaitannya dengan kondisi kesehatan ibunda yang sedang memburuk.

Ketika saya lihat beliau beberapa hari yang lalu di bandara Cengakareng, memang ada yang berubah secara singnifikan dari fisik Mamak saya ini. Mukanya menirus dan tampak sangat tidak segar. Namun, saat itu saya berdramaturgi dengan memasang tampang senang karena sekian lama tak berjumpa. Baru, sesaat selesai kita makan siang bersama, saya beranikan diri berkomentar. "kok Mamak kurusan sih...," celetuk saya sekenanya.

"Iya tuh..Mamak agak ga sehat Ner. 3 bulan belakangan ini aku ga bisa tidur tuh.. mana tenggorokan sakit lagi..,"balasnya saat itu. Ternyata berat badan ibunda saya ini telah berkurang hingga 6 kilogram.

Hari ini saya sangat amat bersedih karena harus mengantar beliau ke rumah sakit untuk kali ke dua dalam minggu ini. Keluhannya satu. Tenggorokan yang tak bersahabat. Tapi yang membuat saya 'meradang' bukan karena itu, tapi karena hingga saya selesai menuliskan curahan hati ini Mamak saya tetap tidak memberi tahu sakitnya yang membuat dia sempat inap 3 hari di rumah sakit...

"Kenapa Mak....???" batin saya karena tidak ada orang yang dapat saya ajak bercerita masalah kesedihan ini. Dan itu semakin membuat saya bersedih...



-PO-

(darikeremangansoremenjelangmalamminggudisudutkamar)