6/30/13

Aku Berbohong Maka Aku Ada

Ilustrasi Pinokio yang diambil dari http://socialsimplicity.blogspot.com/2011/12/oversharing-is-not-honesty.html. Pinokio adalah tokoh rekaan produksi Walt Disney Company pada tahun 1940 dalam film "Pinocchio"

Filsuf asal Prancis, Rene Desacartes, boleh saja memiliki ungkapan fenomenal seperti Cogito Ergo Sum: Aku berpikir maka aku hidup. Tapi, itu tidak berlaku bagi saya. Sebab, menurut saya bukan berpikir yang membuat orang hidup, tetapi kebohongan atau berbohong menjadikan orang itu hidup!

Jangan cemas apalagi khawatir dengan ungkapan saya itu. Panas kuping sih boleh, tapi hati harus tetap dingin. Kenapa? Karena tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak pernah berbohong.

Soal bohong membohongi ini sejatinya akan jadi cerita yang panjang dan sangat rentan untuk diperdebatkan. Tapi, lagi, saya tidak tertarik untuk berdebat apalagi mempertahankan argumentasi yang bisa jadi berpotensi terselip kebohongan di dalamnya. 

Malam ini saya tergelitik dengan terminologi kebohongan setelah membaca berita tentang Maradona yang menolak hadir di Makassar dan enggan memberikan coaching clinic kepada anak-anak di stadion Gelora Bung Karno, Jakarta (ada beragam versi judul berita soal ini, namun intinya tetap sama: Maradona menolak memenuhi agenda panitia).

Yang menarik, ternyata, Maradona mempunyai alasan kuat untuk menolak agenda-agenda tersebut. "Saya sudah tahu ada SSB Boca Juniors Indonesia. Tapi, saya tak tahu bila ada kontrak untuk memimpin coaching clinic. Ada yang berbohong soal ini. Saya pasti mau melatih anak-anak tersebut. Jadi, jangan pernah berbohong kepada anak-anak," tegas Maradona seperti dilansir kompas.com (lihat: http://bola.kompas.com/read/2013/06/30/1746170/Maradona.Tak.Merasa.Ada.Kontrak.Coaching.Clinic).

Ya, Maradona merasa dibohongi! Maradona merasa, panitia, yaitu Badan Sepakbola Rakyat Indonesia (BASRI), telah membohongi dirinya. Dalam berita (dari link di atas) juga tertulis bahwa panitia tidak merasa melakukan seperti apa yang dikatakan Maradona.

Ah, mana yang benar? Akan pusing kita kalau berkutat di situ-situ saja.

Nah, supaya tidak pusing kita kembalikan saja semua ke 'khittah'-nya: "Aku Berbohong Maka Aku Ada".



*..in the end, it's not going to matter how many lies you took, but how many moments took your truths away.




-PO-
darikeheninganmalamdikamarkerjabersamaanakistriyangsudahterlelap
22:53 WIB

6/9/13

Tardidi

Suasana gereja HKBP Sudirman, Jakarta, pada Minggu (02/06/2013) sesaat sebelum prosesi tardidi dimulai.
Selalu ada penanda dalam hidup manusia. Kok, bisa? Tentu saja. Wong, manusia adalah homo significan. Artinya, meaning makers!

Nah, mari kita biarkan soal tanda, penanda, makna, dan tetek bengek penyertanya itu menjadi kajian ilmu semiotika. Tak perlulah saya dan Anda terlalu jauh menyelami bidang itu. Bisa satu semester sendiri nanti waktu yang tersita untuk bicara soal itu.

Sesungguhnya saya mau bicara soal tanda kepemilikan manusia. Maksudnya? Ya, kalau Anda mengaku memiliki nama tertentu, mari kita sebut saja dia 'Bunga', maka secara otomatis akan ada tanda yang mengidentifikasikan kepemilikan nama Anda itu. Bisa itu akta lahir atau juga KTP.

Nah, dalam keyakinan ber-Tuhan yang saya anut, anak adalah milik Tuhan. Oleh sebab itu, harus pula ada penanda bahwa dia telah menjadi milik Tuhan, yang dalam hal ini adalah Yesus Kristus.

Dan, tardidi-bahasa batak dari baptis-menjadi sebuah penanda anak telah resmi menjadi milik Tuhan Yesus Kristus. Minggu lalu (02/06/2013) saya, istri, dan keluarga besar membawa Enet Le Miracle-puteri pertama saya-ke gereja HKBP Sudirman, Jakarta untuk dibaptis. Adalah pendeta DR. Dewi Sri yang dipakai Tuhan sebagai orang yang membaptisnya.

Lalu? Ya, sudah bisa diterkalah, tentu saja. Namanya saja sudah jadi milik. Pasti akan dijaga dan terlebih lagi dikasihani. Kalau sudah begitu, apa yang kurang dalam menjalani hidup ini? Tenang sudah!

Rasa itu pula yang kemudian kami syukuri pada hari yang sama dengan menggelar pesta syukuran. Ya, saya menyebutnya pesta, meski dilakukan di rumah. Kenapa? Sebab, acara syukuran itu memakan biaya yang cukup besar. Tidak kurang dari 13 juta rupiah ludes sudah.

Semoga saja, itu bukan bentuk pemborosan kami, tapi ungkapan rasa syukur yang tak ternilai atas karya penyelamatan dan kasih Tuhan terhadap keturunan pertama kami yang membawa keajaiban: Le Miracle!


-PO-
090613
23:40
*daripengapnyakamartidur