10/15/13

Pesan

Enet Le Miracle (kanan) menindih saya yang sedang tidur. Foto diambil Selasa (16/4/2013).
Dalam hitungan detik. Dan, klik! Tombol "update status" pun tertekan. Lalu, muncullah serangkaian kata: "Selamat idul Adha semuaaa". Tertayang rangkaian kalimat mengandung pesan dari seorang kawan-entah di mana ia memencet tombol tersebut-yang memang berjejaring dengan saya di media sosial Facebook.

Rangkaian kalimat lain pun turut menyusul. Kali ini dari teman yang lain, masih dengan nada pesan yang sama: ucapan selamat hari raya Idul Adha. Maklum, hari ini memang peringatan peristiwa kurban bagi umat Muslim.

Riuh. Begitu yang terpancar dari layar monitor komputer ini. Kalimat demi kalimat seolah saling bersahutan membawa pesannya masing-masing. Tentu, itu belum termasuk bingkai-bingkai foto yang memaktubkan pesan gambar dengan beragam gaya. Sebut saja mulai dari foto diri yang diringi dengan kalimat pujian "Cakep kan gue...," hingga gambar berbagai jenis makanan yang dipajang di dinding situs terpopuler di Indonesia ini.

Kata dan gambar pun merefleksikan pesan tersendiri. Pun demikian dengan makna yang menyertainya. Si pengirim dan penerima pesan sejatinya wajib berbagi pengalaman hidup yang sama. Tentu saja dalam upaya terciptanya kesepahaman. Atau, komunikasi yang efektif, begitu kata sang pakar Wilbur L. Schramm.

                                            *** 

Sabtu pagi yang cerah (12/10/2013), sekira pukul 05.30 WIB. Lengan kiri saya terasa terhantam sesuatu. Acuh. Saya pun tetap larut dalam lelap. Maklum, hari itu adalah hari libur dari pekerjaan kantor. 

Dalam sekejap, hantaman kembali menerjang. Bukan sekali, melainkan berkali-kali. Ini sudah terpola. Memunculkan sejuta tanya di benak. Hingga kemudian akhirnya tersadar ketika mulai membelalakkan mata dari pejam. Ah, ternyata sang putri tercinta. Pagi itu ia menunjukkan jati dirinya sebagai bayi 7 bulan: coba bergerak aktif. Termasuk berguling-guling hingga coba merangkak, meski acap menghantam berbagai benda seperti lengan saya, ayahandanya. 

"Selamat pagi, Enet.." ucap saya seraya menahan kantuk.

Sadar saat itu hari Sabtu, saya coba ambil kesempatan: memperpanjang waktu tidur. Ya, di hari kerja, pada jam segitu saya sudah mencapai setengah perjalanan menuju kantor di bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan.     

Belum juga mimpi indah menghampiri, sesuatu kembali mengusik saya. Kali ini lebih mengejutkan. Pasalnya, mata saya berlinangan air. Bukan air mata, melainkan air liur. Sebab, lidah Enet masih coba menjulur ke arah mata saya yang sudah mulai terjaga karena kaget.

Di tengah perasaan yang mulai teraduk bak isi perut mobil molen, saya melihat sebuah senyum coba dilemparkan buah hati saya. Efek ikutan pun tak terelakkan. Senyum lebar mengembang juga dari bibir saya. "Wuah, Enet bangunin Bapak, ya...?!" kata saya sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 06.30. "Makasih, ya sayang..."

Saya pun tersadar. Hari itu saya harus mengajar di Salemba untuk kelas jam 07.50. Alhasil, tanpa pikir panjang lagi, segera saya beranjak dari peraduan menuju kamar mandi setelah terlebih dahulu membelai putri saya dan menghujaninya dengan sejuta kecupan hangat sebagai wujud terima kasih atas air liurnya tadi. 

                                          ***

Kalau pesan ternyata hanya terbatas pada kata, kalimat dan gambar saja, bisa jadi manusia tidak akan menjadi mahluk yang sempurna. Pasalnya, pesan non-verbal seperti hantaman atau bahkan air liur yang dijulurkan ke mata saya justru yang melengkapi ragam pesan keturunan adam-hawa bahkan dari seorang bayi 7 bulan seperti Enet Le Miracle, anak saya. 

Bahkan, tulisan bejudul "Pesan" ini juga sejatinya menjadi pesan tersendiri. Soal makna? Terserah Anda... 



-PO-
23:27
15102013
*darisudutkamaryangpanas