5/18/11

Prison and Paradise, Sebuah Film tanpa Cerita




“..Pembahasan soal stigmatisasi ini ada di luar film..”






Kalau ada orang yang mau merelakan waktu, tenaga, pikiran, atau bahkan uangnya untuk menonton film, hampir bisa dipastikan itu karena ada cerita film yang jadi daya pikatnya. Memang, tidak harus selamanya begitu. Bisa saja ada alasan lain. Sang tokoh pemeran film yang sangat menarik, juga bisa jadi alibi. Atau mungkin karena keterpaksaan. Semisal, bagi pelajar atau mahasiswa yang ketiban sial harus menonton film tertentu karena sang guru atau dosen bertitah demikian, maka itu bisa jadi keharusan bagi mereka.

Namun yang menarik adalah bagaimana jika ada seorang sutradara film atau pembuat film, yang membuat film itu bukan karena ingin bercerita tapi malah ingin berwacana?

Nah, Daniel Rudi Haryanto adalah orangnya. Pria lulusan Institut Kesenian Jakarta ini mengaku membuat film Prison and Paradise untuk sebuah diskursus. ‘Kita tidak sedang bikin film cerita. Kita bikin diskursus..’ jelasnya dalam sebuah sesi diskusi di acara pemutaran film Prison and Paradise di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Ya, Rabu malam (18/5), AJI Jakarta menghelat pemutaran perdana film dokumenter Prison and Paradise. Dengan beralaskan tikar dan berpenganan ubi dan kacang rebus serta bajigur hangat, sekitar 15 orang terpaku pada layar proyektor 185 x 185 cm. Mereka tampak serius memperhatikan adegan demi adegan dari para pelaku terorisme: Imam Samudera, Amrozy, Ali Gufron. Ada juga gambar para isteri dan anak dari para pelaku bom bali tahun 2002 tersebut.

Tidak hanya itu. film yang berdurasi sekitar 90 menit tersebut juga menampilkan Noor Huda Ismail. Bahkan, hampir tiga per empat dari film adalah tuturan kisah Noor Huda. Dus, tidak heran memang. Pasalnya, film yang menampilkan pemikiran-pemikiran para teroris itu dibuat berdasarkan buku novel karangan Noor Huda Ismail yang berjudul ‘Temanku Teroris?’

Bagi sebagian orang yang mencintai film dokumenter mainstream, bisa jadi film yang dibuat selama tujuh tahun itu sangat tidak menarik dan membosankan. Sudah gambarnya didominasi berbagai adegan ‘gempa bumi’ alias potongan adegan yang tertayang bergoyang dengan tidak teratur-yang pada gilirannya mengganggu kenyamanan mata dalam menonton, lompatan dari satu sekuen adegan ke sekuen lainnya pun terasa amat kasar kalau tidak mau dikatakan jumping atau jump cut alias tidak runut secara logika gambar.

Simak saja di setiap wawancara yang tertayang. Dari seluruh wawancara-dominasi adegan film adalah wawancara-hanya wawancara dengan Ali Gufron ketika dia di dalam penjara yang relatif nyaman ditonton. Pasalnya gambar diambil dengan kamera yang menggunakan tiang penyanggah atau tripod. ‘Iya, itu ku ambil pakai tripod,’ kata Daniel, sang sutradara, di tengah-tengah pemutaran filmnya tersebut.

Namun, berbagai ketidaknyamanan tersebut masih tetap dapat apresiasi oleh para penonton yang didominasi para jurnalis dan sekelompok mahasiswa dari lembaga pers mahasiswa (LPM) universitas Bakrie. ‘Ini film yang luar biasa. Saya salut!’ komentar Budhi Yanto dari LPM universitas Bakrie setelah pemutaran film.

Cukup di situ? Tidak! Film yang digarap dengan menghabiskan waktu wawancara selama sekitar 14 jam dan menggunakan jumlah total kaset 50 buah tersebut layak diacungi jempol. Pasalnya, kemampuan Daniel, sang pembuat film, dalam meraih kepercayaan baik dari para teroris juga anak-istrinya untuk diambil gambar aktivitasnya dan diwawancarai sangat menakjubkan.

Hasilnya pun dahsyat! Kalau biasa kita melihat Amrozi cs. hanya di televisi-ketika digiring ke mobil tahanan atau dari dan ke dalam ruang sidang-tentu saja dengan teriakan khas ‘Allahuakbar’, maka yang terjadi di film pemenang Festival Film Dokumenter ini justru sebaliknya. Para pelaku bom Bali yang menewaskan 202 orang itu bertutur dengan sangat terstruktur tanpa sepatah katapun memekikkan takbir. ‘Saya juga pernah punya istri, juga pernah rasa malam pertama. Tapi tidak senikmat ketika perang,’kata Ali Gufron dari dalam sel nya di Bali.

Lain lagi kisah yang dituturkan oleh Mubarok. Ia punya justifikasi tersendiri terhadap aksi mematikannya tersebut. ‘Teroris itu menuju surga, yang lain menuju neraka,’ celotehnya dari balik jeruji besi. Sementara Amrozi dan Imam Samudera menjelaskan bahwa mereka sadar betul akan apa yang mereka lakukan, yaitu semata-mata karena jihad membela agama.’Ya..kan banyak juga orang kafir di sana yang mati. Ya kalau ada orang Islam yang juga mati..ya..biar itu jadi urusan saya dan Allah saja nanti..’kata Imam Samudera dengan berapi-api.

Sejatinya, film ini diniatkan untuk menghalau stigma yang berkembang pasca bom Bali 2002. Ya, Daniel dan timnya bermaksud mengurangi dampak buruk yang dirasakan oleh para isteri dan anak dari pelaku teror tersebut. Mulai dari celaan warga sekitar tempat tinggal mereka (hingga mereka harus berpindah-pindah tempat tinggal hingga 7 kali) sampai kepada cibiran dari teman-teman sekolah Asma Azzahra, Oonita dan Azzah Rohidah-putri-putri para pelaku terpidana mati. Sayangnya, hingga adegan penutup film dokumenter ini, tidak tampak asosiasi dari stigma tersebut. Alasannya satu. ‘Kita melihat subjek kita beda..’jelas Daniel menanggapi kesan kaburnya tujuan utama penampilan stigma terhadap korban pelaku pengeboman.



dariterminalkantuk

-PO-
05:34 WIB
*Image courtesy of www.MediaIndependen.com