11/2/21

When fox meets mommy

 In the good old days..


There were two little princesses living in a castle...


The bigger princess was dreaming to walk around the woods nearby, until she found...

 

The fox!

A beautiful drawing of fox by Enet Le Miracle made in Oct 2021.


 

Meanwhile,..


The other little princess was imagining to make up her mommy to be beyond The Queen of England..

 

Tadaaa..

The image of mommy in the eyes of Elizabeth Merkel taken in October 2021.

 

And the two little princesses remain in their world of dreams as they are snoozing in the morning after enjoying yesterday's holiday of Melbourne Cup .

 

And that's the end of today's bed time story. 

 

See you later, alligator ;)

 

-PO-

*FromTheCornerOfWorkStationAtHomeInFootscrayWhileSippingRegularArabicaBlackCoffee 

03112021

07.50am


10/4/21

Cairan Surga

 


"Apakah kamu orang Filipina?"

 

"Bukan!" Jawab pendosa ini, "saya asli Indonesia".

 

"Ah, hampir saja saya ajak kamu bicara tagalog," kata malaikat wanita ini, yang ternyata dia malaikat asal Filipina. Sebenarnya ada ajakan lagi yang lebih menggoda. Tapi, demi menjaga marwah malaikat yang mulia, ada baiknya itu diabaikan saja hehe..

 

Dan, setelah itu seleksi masuk surga pun berlangsung segera. Singkat bahkan. Hanya, memang, butuh waktu tambahan sekitar 15 menit-an.

 

Yah, agak mirip sama audisi kontes idola di media televisi yang setelah pesertanya tampil, lalu diikuti dengan juri yang berembuk sekejab untuk menentukan nasib selanjutnya peserta tadi.


Itulah kira-kira, yang terjadi di waktu tunggu tadi. Hanya, yang ditunggu bukan rembukan juri, melainkan reaksi seleksi.


Karena menunggu reaksi, maka pastinya didahului dengan aksi. Dan, memang sang malaikat tadi beraksi dengan memaksukkan tetesan cairan ke tubuh lelaki itu.


Tanpa adanya reaksi berarti. Satu kaki sudah masuk surga. Pastinya, tiket keselamatan sudah di tangan.

 

Loh, kok cuma satu kaki? Piye, tho?

 

Satu kaki lagi tunggu beberapa saat berikutnya: masa kedua aksi memasukkan cairan serupa.


Aha! setelah itu, selamat surga akhirat pastinya.


Ndak juga.


Selamat Anda telah terdata! 


Terdata siapa yang layak masuk surga. 


Tapi, mohon jangan salah sangka. Ini surga, yah surganya malaikat wanita tadi dan komplotannya.


Pastinya, surga yang diukur dengan selembar kertas, bukan dengan amal dan kebaikan.


Di mana, kertas itu pun bisa jadi nanti akan menjadi masa depan kita, kalau ndak mau disebut hidup dan mati kita. 


Sebab ada tertulis: Barangsiapa yang menguasai data, itulah yang mengusai dunia!


Maap, maksudnya selembar kertas tadi. Kok jadi ke sebut data sih... 

 

Weleh99x :)



-PO-

04102021

11.30pm

*DariTerminalKegelisahanAkanMasaDepanYangKelakBerubahWujudMenjadiSebuahSertifikat(Data)

**Ilustrasi gambar merupakan koleksi pribadi diambil dari kegiatan vaksinasi (Pfizer) pertama di Whitten Oval, Footscray, Melbourne pada 2 Oktober 2021. Tidak ada reaksi berarti setelah vaksi itu, kecuali pegalnya luar biasa hingga tiga hari pada lengan yang tercucukkan.


 

 


6/2/21

Good Doctor dan Niat Baik


Kalau ada hari yang dramatis, mungkin itu terjadi tepat di hari ini.


Hari ini aku kembali menangis. 


Bukan karena hal besar. Justru, sebaliknya.


Ini masalah sepele. Se-sepele makan kacang asin sambil minum wine merlot yang (mungkin) biasa dilakukan orang saat santai menikmati hari pertama musim winter di Melbourne Raya.


Air mataku mengalir pada saat menonton drama serial di Netflix yang berjudul "The Good Doctor".


Tepatnya, bulir-bulir air mata ini menyeruak saat menyimak dialog sang tokoh utama yang bernama Doctor Sean saat menjawab pertanyaan dari panel rumah sakit yang akan mempekerjakan dia sebagai dokter bedah di rumah sakit itu.


"I want to make that possible for other people," begitu tuturnya sambil berkaca-kaca dengan disertai gestur tubuh yang sangat emosional, sambil berdiri dan melipat tangan layaknya posisi berdoa sembari menatap kosong sekumpulan anggota panel rumah sakit yang sedang mewawancarinya itu.


Doctor Sean adalah seorang autis. Walhasil, ada masalah dalam dirinya secara fisik dan penampakan. Termasuk, masalah berkomunikasi. Sulit rasanya dia berkomunikasi secara efektif. Bukan karena pesannya yang tidak dimengerti, melainkan karena cara menyampaikan pesannya yang terasa kurang kredibel. 


Di sini saya meng-amini data-data ilmiah: Terdapat sejumlah bukti kuat yang menunjukkan bahwa, orang berpotensi akan lebih percaya pada pesan yang tampak mengesankan, ketimbang percaya pada isi pesannya itu sendiri (coba lihat Roberts, 2010; Slater & Rouner, 1996; Hovland & Weiss, 1951).


Dengan kata lain, kemasan menjadi kunci kredibilitas sebuah pesan. Mungkin, ini yang dieksploitasi dalam dunia bisnis dan juga politik sehingga semakin hari semakin terasa bahwa semua orang berlomba-lomba mengemas pesan dan kemudian mempercayainya.


Saya terharu sejadi-jadinya mengingat ketulusan Doctor Sean dalam mengungkapkan isi hati dan kepalanya. Doctor Sean, dalam cerita serial ini, digambarkan sebagai pengidap autis. Tapi, sekaligus dia juga seorang jenius. 


Anak muda yang berintelegensia di atas rata-rata dan mampu menjadi dokter bedah luar biasa (terbukti dengan adegan pembuka serial yang menyodorkan momen dia melakukan aksi dramatis menyelamatkan korban nyaris mati di sebuah bandara dengan melakukan operasi bedah darurat dengan alat medis seadanya). Agak mirip dengan sang McGyver, sang tokoh serba bisa zaman 90an. Tapi, beda karakter dan alur cerita. 


Doctor Sean tulus menjawab pertanyaan para petinggi rumah sakit tadi dengan mengatakan bahwa motivasi dia menjadi dokter bedah adalah karena ingin menyelamatkan orang. Memaksimalkan kemungkinan hidup manusia. Atawa, memberikan harapan. Sebab, dia mampu dan punya kesempatan.


Soal kesempatan ini yang kemudian membuat suasana haru biru semakin terasa dalam sanubari saya. Sebab, tidak hanya air mata yang menetes di pipi ini, tapi juga sesegukan tangis dahsyat menghujam seisi ruangan kerja saya di mana saya sedang menonton serial ini. 


Beruntung flat tempat tinggal saya ini bukan RSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali) yang berdindingkan triplek sangat sederhana, kalau ndak mau dibilang tipis. Terbayang dong, kalau itu dinding terbuat dari triplek tipis. Bisa jadi perang dunia (antar-tetangga) pecah seketika. 


Maklum, sang tetangga, seperti kebanyakan bule Melbourne Raya, sangat amat menjunjung tinggi privasi, utamanya saat malam hari tiba. Namanya, malam, yah sunyi. Kalau pun ada suara, yah, suara-suara indahlah, seharusnya. Bukan tangis sesegukan macam saya, yang muncul karena nonton sinetron ala Netflix.


Seketika Doctor Sean menyelesaikan jawabannya tadi, sang petinggi rumah sakit menyalami dia seraya berkata: "Doctor Sean, I want to be the first to welcome you to this hospital". Begitu katanya seraya menyodorkan tangan, tanda selamat datang kepada Doctor Sean. 


Dan, seluruh panel pun seolah mengamini ucapan selamat itu seraya menyambutnya dengan tepuk tangan gegap gempita.Padahal, sebelumnya, hampir semua panel meragukan kredibilitas Doctor Sean. Musababnya, penampilan aka kemasan sang doctor yang tidak lain karena mengidap penyakit autis.


Dan, drama pun mulai mengalir dengan lancarnya. Kegagapan dalam berkomunikasi dan persepsi orang akan autisme menjadi titik munculnya konflik serial ini. Walhasil, ini brilian. Karena, kalau kekuatan sebuah cerita visual ada pada dramatisasi cerita, maka konflik yang berlatar autisme dan cara pandang orang terhadap pesan dan cara penyampaiannya menjadi dramatisasi tersendiri. 


Di sini aku angkat topi untuk sutradara serial dan seluruh kru. Mereka mampu membakar emosi penonton dengan dramatisasi yang tidak merugikan orang lain. Coba, apa ruginya kalau kita termehek-mehek persis seperti yang saya rasakan tadi? 


Beda halnya dengan tayangan visual lain, yang juga membuat orang lain termehek-mehek tapi dengan cara merugikan. Mulai dari menyajikan cerita sensasional sampai kepada menakut-nakuti para penontonnya. Dan yang lebih parah lagi, mendramatisasi fakta seolah nyata dalam kemasan berita padahal,..(untuk ini sengaja saya hentikan, khawatir menyinggung rasa bahasa para pekerja media yang adiluhung).


Kesempatan menolong orang memang menjadi hal klasik. Hampir semua orang yang tahu baca-tulis paham akan hal itu. Karena selama dia bisa membaca dan menulis, sudah hampir bisa dipastikan, banyak sumber yang mendukung kalau bisa menolong orang, baiknya kita segerakan. Apalagi kalau dari sisi religiusitas, tolong-menolong wajib hukumnya. Cuma, aku ndak mau masuk wilayah itu. Maklum, kita tahu diri: ndak terlalu relijiyes. Jadi, yah,..biasa ajahhh..


Tapi, rasa haru tak terbendung manakala memori ini terpantik soal kesempatan ditolong dan juga pastinya menolong. Saya ingat betapa dahsyat perjuangan saya sampai ke tanah Melbourne ini (buat saya ini adalah tanah perjanjian; maksudnya perjanjian Tuhan kepada umat-Nya, termasuk saya yang mau mengikut Dia). Sebab, tak terkira betapa dramatis usaha saya mencari pertolongan dari berbagai lini untuk mendapatkan kesempatan belajar di Melbourne dengan level Doktoral secara gratis seperti ini.


Dramatis, karena banyak aral melintang dalam usaha mendapatkan pertolongan saat itu. Yang paling utama adalah hampir semua orang yang saya mintai bantuan utamanya dalam konteks memberikan informasi bagaimana cara terampuh mendapatkan beasiswa ini memberikan bantuan dengan separuh hati, kalau tidak mau disebut dengan enggan repot memberikan informasi yang komprehensif.


Saya tidak akan lupa sampai kapan pun juga usaha saya mendatangi para alumni penerima beasiswa dari berbagai tempat dan di segala tingkatan. Mulai dari level master hingga doktoral, semua saya sambangi. Dan saya ingat masing-masing batang hidungnya (demi kemaslahatan umum, nama dan tempat baiknya dirahasikan saja. Toh, tidak ada yang dirugikan dengan hal itu hehe..) Benar-benar saya tunjukkan kalau saya mau berguru dan memohon bimbingan dan informasi. Bahkan, materi pun saya korbankan. 


Ah, jangankan materi untuk masa depan yang sangat serius ini, untuk masalah keriaan saja saya royal kok dengan materi. Apalagi untuk soal keriaan berbalut romantika. Beuh, jangan ditanyalah. Tinggal tunjuk mau makan dan minum apa, Aa pasti bayar kok Neng hehe..


Tapi, ternyata gayung tak bersambut. Informasi tak pernah utuh dan menyeluruh. Bahkan ada yang hanya memanfaatkan kemampuan saya dalam hal 'service excellent'. Maksudnya, mereka hanya menikmati saja traktiran saya. Padahal saya jelas menyatakan "Mohon bantuan mas & mbak, yah.."


Coba, kurang eksplisit apalagi itu. Tanpa tedeng aling-aling seperti kebanyakan orang yang mohon bantuan dengan bahasa isyarat atau kode atau apalah itu yang acap disampaikan dengan tidak langsung. Saya blak-blak-an. Mau, ya mau. Tidak, ya tidak. Ndak pernah mau yang tidak-tidak. 


Sejak saat itu, saya bernazar. Agak mirip dengan jawaban doctor Sean tadi. Saya akan selalu mencoba semaksimal mungkin menolong orang yang datang memohon bantuan kepada saya.  Alasannya satu. Saya pernah terlebih dahulu ditolong. Lah, piye, tho?! Yang menolong kita siapa, kok kita jadi mau menolong orang lain? 


Itu bukan urusan. Sebab, seandainya itu jadi pertimbangan orang yang menolong: Menolong orang hanya bagi mereka yang pernah memberikan pertolongan saja, maka hampir bisa dipastikan saya tidak akan pernah bisa sampai ke Melbourne ini.


Di situ lah saya merasa ada ikatan emosional dengan tokoh Doctor Sean dalam serial ini. Mencoba memaksimalkan kesempatan semesta dalam menolong orang. Sebab, jika kesempatan menolong dibiarkan menguap begitu saja, saya khawatir akan muncul rasa sesal yang amat tak terkira pedihnya.


Yang menarik justru setelah itu. Entah bagaimana bisa, ketika kesempatan menolong itu saya maksimalkan, edilala selalu ada saja orang yang kemudian tanpa diduga-duga memberikan pertolongan.


Kemarin, sang profesor pembimbing doktoral saya menjadi malaikat penolong saya dalam mengatur jadwal sidang akhir tesis doktoral saya dalam waktu dekat ini. Bayangkan, seorang profesor yang atur jadwal. 


Sedianya, mahasiswalah yang mengaturnya. Tapi, ini dia sendiri yang turun tangan. Bahkan, dalam argumentasi dengan pihak kantor grup riset kami (yang saya ketahui dari tautan email yang kami ikuti bersama) dia membela saya habis-habisan  dengan berbagai alasan rasional. 


Intinya, dia menjadi bemper bagi saya di masa kritis studi doktoral ini (maklum, harusnya saya sudah jadi doktor bulan depan tapi terpaksa harus bersabar menjalani satu semester tambahan lagi karena perihal yang tertunda). Soal ini, enaknya sambil ngupi genit kalau mau lanjutan ceritanya, yah hehe..


Itulah sebabnya, saya semakin setuju dengan apa yang dilakukan Doctor Sean. Menolong orang lain selagi ada kesempatan itu sangat indah. Dan terbukti, semesta mengatur tatanan hidup kita sehingga kita pun mendapatkan pertolongan dari orang lain kala di saat genting. 


Walhasil, adegan Doctor Sean membuat saya penuh dengan emosi yang disertai tangis haru mengingat soal kesempatan menolong orang lain. Dan, menjadi lebih haru lagi, sesaat sebelum saya mengetikkan cerita ini seorang teman kos di awal-awal kedatangan di Melbourne menghubungi saya. 


"Bang, aku mohon dikirimkan contoh proposal PhD-mu, boleh?" pintanya via pesan personal Instagram. 


"Boleh!" Jawab saya singkat seraya memberikan alamat email. Sekaligus menjadi penanda bahwa saya serius mau menolong. "Nanti kubalas emailmu".


Kurang dari 5 menit, email kawan tadi masuk kotak. Dan, dalam hitungan menit juga dia kembali membalas email saya: "Makasih yah Abangku. Akan kupelajari proposal ini dan mohon pencerahannya kalau aku bingung nanti".


Ah, dramatis sekali soal niat baik ini. Lanjut nonton lagi, yubs... :) 



-PO-

03062021

00.26am

*DariSudutRuangKerjaNanSyahduDiFootscrayMelbourne

**Image source: https://abc.com/shows/the-good-doctor