3/9/24

Transpuan

Buku-buku koleksi para anggota komunitas buku Bookclan yang sempat aku dokumentasikan pada Sabtu sore (09/03/24) di Lapangan Banteng, Jakarta.

Buku adalah jendela dunia. Begitu metaforanya. Tapi lain ceritanya manakala kita berbicara mengenai komunitas pecinta buku. Maka sebuah jendela seolah terlalu sempit dan kecil untuk bisa menampung luapan cerita dari tiap kepala para pembaca buku, lengkap dengan pemaknaan akan buku dan juga hidup yang sangat mengagumkan. 

Aku menikmati betul interaksi dengan setiap kepala penikmat dan penutur cerita dari buku di komunitas ini. Komunitas buku Bookclan namanya. Apalagi saat seorang bernama ‘Mila’ (nama samaran) mulai bertutur lebih jauh tidak hanya apa yang dia baca, tapi juga tentang siapa dia. Cerita yang menyeruak sungguh tidak hanya mengagetkan tapi juga mengagumkan. 

 “Aku merasa kurang nyaman kalau berjalan kaki di sini, orang-orang seperti tidak ramah terhadapku” kata Mila sembari menengok ke kanan dan ke kiri saat bercerita kepadaku di sepanjang perjalanan dari stasiun Juanda (setelah dari Lapangan Banteng) menuju Stasiun Gondangdia, tempat kami kongkow menikmati camilan ala pinggir jalan khas Jakarta Sabtu sore tadi (09/03/24). “Orang-orang ini masih tidak bisa menerima keberadaan seorang transpuan”.

Itulah momen di mana aku merasa sangat beruntung. Mendapatkan cerita indah bukan dari sebuah buku, tapi seorang pecinta buku yang punya pemaknaan berbeda akan hidup dan manusia di kehidupan ini. Aku juga beruntung bisa mendapatkan cerita dari Mila dengan sangat gamblang dan sangat terbuka. Tentu ini juga menjadi jawaban tersendiri dalam hati, sesaat aku melihat Mila pertama kali dengan atribut kewanitaannya yang tampak seperti pria. 

Tidak terasa, hampir 3 jam aku menjadi rekan bicara Mila Sabtu sore tadi. Banyak hal tersingkap. Termasuk keluarga, yang menolak dan mengusirnya dari rumah-di mana Mila sekarang menjadi aktivis transpuan dan tinggal di penampungan sementara di sebuah gereja kecil di bilangan Jakarta Barat. Hingga rencana Mila hendak melanjutkan studi ke University of Melbourne, Australia. 

Jangan-jangan ini yang disebut dengan semesta merestui. Ada tangan yang tak terlihat alias ‘invisible hand’ yang mengarahkanku untuk bertemu Mila, kemudian memberikan buku novel Nempariku kepadanya secara cuma-cuma. Mila senang luar biasa menerima buku ini. Katanya, aku memang sedang mempersiapkan seluruh berkas untuk melamar beasiswa S2 ke Australia melalui jalur beasiswa AAS. Sebab, hanya AAS lah yang dia ketahui sebagai sponsor yang sangat ramah terhadap kaum transpuan seperti dirinya. “Yah, kan mas sendiri tahu. Transpuan biasanya termagirnalkan karena goblok. Tapi aku kan jago bahasa Inggris dan lulusan Sarjana Sastra Prancis dari UI” 

Akupun hanya tersenyum. Menandakan persetujuan atas apa yang dia tuturkan. Karena sebelumnya aku dan Mila saling bercakap dalam bahasa Inggris secara lancar. Dan pastinya mensyukuri pertemuan ini. Musababnya, cerita Mila dan dan kawan-kawan Bookclan lainnya lebih luas dari sekadar jendela untuk melihat dunia yang sangat terbatas pada frame kanan-kiri dan atas-bawah yang mengitarinya.