9/6/13

Say your love with origami

Two origami of birds taken from BlackBerry 8250 camera on Thursday night (5/9/2013) 


Indeed, there are so many ways to express love to your beloved ones. You name it! Starting from the simplest one just by saying "I love you" up to the complicated way with a well-planned surprise.

Which one do you prefer? It's totally your prerogative to choose. And it seems my wife has her own way to show it to our lovely daughter.

Yup, on Thursday night (5/9/2013), in the middle of our togetherness, Eva suddenly came up with a pack of paper. "Taraaaaa...look what I have here. It's paper to make origami...I want to make it for you," said Eva to our 6-month-old daughter Enet Le Miracle.

It was completely shocking as I never thought that Eva would come up with such a brilliant idea. A sort of different way to express love in a simple as well as worthwhile work.

"Here you go, origami of bird...." she uttered. "Mamak dan Bapak sayang Enet..." (an Indonesian expression of "we love you Enet..)


-PO-
6/9/2013
21.09

8/30/13

Jangan asal lahap, meski sudah lapar


Foto dikutip dari http://www.resepmakananbayi.net/bubur-apel.html  


Logika nggak jalan kalau nggak ada logistik..
Begitu bunyi bio akun twitter Benu Buloe. Agak nyentrik memang. Bahkan, bisa jadi mengandung tanda tanya bagi orang yang baru mendengar frase tersebut. Apa hubungannya logika dengan logistik? Lalu, apa pula maksudnya kalimat itu dituliskan sebagai bagian dari bio, yang acap diidentikkan dengan identitas dari pemilik akun mikroblogging tersebut.

Tentu, hubungannya lebih dari sekadar "baik-baik saja". Karena ada makna tersirat di dalamnya. Dan, jika kita coba bedah secara sintaksis, maka kata logika dan logistik seolah memiliki tautan tertentu yang merangkai sebuah makna di samping tentu saja logika dan logistik itu pula telah mengantongi maknanya masing-masing.

Ya, logika menjadi sebuah kata benda yang dimaknai sebagai sebuah hasil proses tesis-antitesis-sintesis dalam ranah filsafat. Sederhananya, meski itu kata benda, namun ada proses kerja di dalamnya: proses berargumentasi. Sementara, logistik acap disederhanakan ke dalam makna yang berkaitan dengan urusan perut: bisa makanan atau bahkan uang. Sungguh penyederhanaan yang sangat cepat, kalau tidak mau disebut sebagai dangkal. Sebab, logistik bermula pada akhir abad ke-19 di mana logistik menjadi sebuah pasokan kebutuhan militer dalam menjalankan tugasnya mulai dari senjata, amunisi, dan berbagai perlengkapan pendukung lainnya.

Jadi, dapatlah saya pahami bahwa Benu Buloe-kawan saya dulu semasa menjadi jurnalis Trans TV-coba memproklamirkan dirinya sebagai orang yang, paling tidak, melihat arti penting pasokan bagi sebuah proses kerja. Dan, karena Benu adalah seorang yang saya sebut sebagai wartawan kuliner, maka makanan dan logistik seolah memiliki tautannya secara otomatis.

Makanan menjadi kunci segalanya. Tidak hanya bagi Benu. Tapi berlaku umum. Karena memang itulah hakikatnya. "One should eat to live, not live to eat," kata artis kenamaan asal Prancis Jean-Baptiste Poquelin, atau biasa dikenal dengan nama panggung Moliere.

Ragam makanannya? Tentu saja ada banyak! Tapi, makanan yang pokok bisa dihitung jari. Sebut saja beras. Hampir dua miliar manusia di dunia ini memakannya. Utamanya mereka yang tinggal di Asia, Amerika Latin, dan beberapa wilayah Afrika. Ada juga makanan pokok lainnya seperti jagung, umbi-umbian, atau bahkan gandum.

Hanya saja, kita perlu hati-hati dalam mengonsumsi makanan itu. Jangan asal lahap meski sudah lapar! Jangan juga asal beri makanan kepada mereka yang lapar. Apalagi kalau itu adalah bayi yang masih berusia di bawah enam bulan.

Nah, setelah satu semester saya dan istri memberi makanan "ajaib" secara eksklusif kepada putri pertama kami, akhirnya Jumat sore (30/8/2013) kami memberikan makanan pendamping ASI untuk kali pertama. Akhirnya, putri kami makan bubur. Bubur instan Milna namanya. Semoga, bubur, yang di dalamnya terkandung tidak hanya makanan pokok beras tapi juga gula, jagung, bahkan berbagai vitamin, bisa memenuhi kebutuhan tumbuh-kembang dirinya secara utuh. Tidak hanya menjalankan logika.


-PO-
01.23 WIB
01/09/2013

8/29/13

Rating & Share

Image courtesy of http://www.integratedmortgageplanners.com/blog/first-time-home-buyers/the-mortgage-qualifying-rate-mqr/

Number of TV households tuned in
______________________________    =  Rating Figure

Total number of TV households


  • For example, if 75 households of your rating sample of 500 households are tuned to your show, your show will have a rating of 15 (the decimal point is dropped when the rating figure is given)
          75
          ___  = 0.15 = 15 rating points

          500


TV households tuned to your station
_______________________________  =  Share

All households using television (HUT)


  • For example, if only 200 of the sample households have their sets actually in use (HUT = 200 = 100 percent), the 75 households tuned into your program constitute a share of 38:

          75
         ___  = 0.375 = Share of 38

         200


*(Zettl, 2003 : 428)
**Dedicated to all broadcasters who are still confused with the terminology of rating and share in television..

8/7/13

Cinta dalam Semangkuk Minyak Kemiri

Minyak kemiri dalam mangkuk yang dimasak tanpa pengawet selama sekitar 2 jam, Selasa (06/08/2013). Foto koleksi pribadi diambil dengan kamera henpon.

"I love you, easy to say but it takes a long time to prove..."

Mari kita bicara cinta (lagi)... 

Hmm..saya berasumsi Anda bosan bicara cinta. Entah itu karena Anda belum mendapatkan cinta sejati, atau justru karena sedang ketiban pulung: patah hati (lagi), atau mungkin Anda muak mendengar kata cinta karena cinta menjadi seonggok mahluk yang terlalu "basi" untuk dibicarakan. 

Baiklah. Anggaplah asumsi itu benar. Jadi, lebih baik kita sudahi saja bicara cinta.

Tapi, saya masih ingin melanjutkan tulisan ini. 

Izinkan saya sedikit mengganti ajakan tadi dengan: 

Mari kita buktikan cinta...

Ya, seharusnya sedikit lebih baik. Sebab, kali ini cinta akan berwujud. Tidak lagi abstrak, se-abstrak rayuan gombal ala Alay : "Neng, Tanah Abang luas loh..Kalau ndak percaya, tanya saja sama orang-orang".

Lalu, apa bukti cinta itu? 

Banyak! Bahkan teramat banyak! Dulu, ketika saya masih ABG (Anak Baru Gede) seringkali saya dengar kawan-kawan yang berpacaran (pria-wanita) mengatakan bahwa kalau ciuman (di bibir) menjadi hal yang lazim sebagai bukti cinta. Beranjak dewasa, saya mendengar kisah lain. Bahwa kalau memang cinta, "Yuk, bajunya dibuka dong biar kita bisa bercinta.."

Membayari ketika sedang beli makanan atau barang-barang lain juga acap dijadikan bukti kadar cinta seseorang.

Lain cerita dengan pengunjung jembatan Hohenzollernbrucke di Koln, Jerman. Tahun 2010 saya menyaksikan bagaimana warga Koln atau turis yang mengunjungi jembatan itu berlomba-lomba menunjukkan bukti cinta mereka dengan sebuah gembok yang dikuncikan di sela-sela sisi jembatan tersebut. Uniknya, simbol cinta dalam gembok itu tidak hanya milik mereka yang berpasangan seperti pria-wanita, tapi juga pasangan sejenis. Tidak hanya itu, mereka yang satu keluarga juga terlihat ikut memasangkan gembok di jembatan yang dibangun antara tahun 1907 dan 1911 tersebut. 



Pasangan pria-wanita melintasi jembatan Hohenzollernbrucke di Koln, Jerman yang dipenuhi dengan "gembok cinta" di satu sisinya. Image courtesy of http://hungeree.com/culture/the-love-locks-of-cologne-germany/


Tentu saja, gembok yang ditautkan dijembatan yang melintasi sungai Rhine itu bukanlah gembok biasa, melainkan sebuah gembok yang sudah digrafir dengan kata-kata tertentu (biasanya nama yang bersangkutan dan tanggal pemasangan gembok itu).  


Sebuah ungkapan cinta yang diukir di gembok: "A promise of love to our family". Image courtesy of http://journals.worldnomads.com/amy_velleman/photo/36714/917552/France/For-me-this-image-symbolises-Paris-more-traditionally-known-as-the-city-of-love 

Jelas sudah. Bukti cinta, bayaklah ragamnya. Mulai dari sekadar untaian kata-kata romantis, atau memberikan pengorbanan tertentu, hingga membuat beragam simbol cinta seperti rentetan gembok di jembatan (fenomena simbol cinta di jembatan juga terdapat di beberapa negara di Eropa dan Australia).

Saya juga tak mau ketinggalan  buktikan cinta kepada pasangan dan anak perempuan saya. Merelakan waktu tidak kurang dari dua jam untuk menemani istri menggongseng kemiri pada Selasa (07/08/2013) semoga menjadi bukti cinta itu sendiri. Ini menjadi lebih berarti manakala hasil minyak kemiri itu akan kami oleskan di kepala puteri kami demi mendapatkan rambut yang tebal dan berwarna hitam bak mahkota yang indah.

Hmmm,...apalah artinya bukti cinta itu? Bunda Teresa pernah berujar, "Not all of us can do great things. But we can do small things with great love". Ya, semoga menemani istri menggongseng minyak kemiri demi sang puteri jadi hal kecil yang membuktikan besarnya cinta itu sendiri..


-PO-
070812
16.03 WIB
 

7/27/13

Teh, Televisi, dan Munarman

Image courtesy of http://nasional.inilah.com/read/detail/2004688/munarman-fpi-siram-air-teh-ke-sosiolog-ui#.UfPAUNJcxtg
Pada suatu Minggu pagi. Libur dari pekerjaan kantor dan cuaca yang cerah. Saya pun masih terbaring di kasur. Bukan untuk berleyeh-leyeh tapi karena lemas akibat diare.
“Pir, ini teh panasmu. Minum dulu,” ujar ibu saya sambil menyuguhkan segelas teh tawar panas. “Habiskan. Biar segera berhenti diaremu”.

Ya, orangtua saya meyakini bahwa teh tawar panas mampu menjadi penawar diare yang cukup ampuh. Keyakinan itu beliau percaya secara turun temurun. Bahkan, konon, ada jutaan orang Indonesia yang berkeyakinan sama dengan orangtua saya.

Soal benar-salah, tentu masih harus dipertanyakan. Sebab, keyakinan itu dilandasi mitos belaka, bukan alasan ilmiah.

Nah, secara ilmiah teh digadang-gadang memiliki beberapa khasiat, mulai dari mampu mencegah penyakit alzheimer hingga dipercaya mampu membantu proses penyembuhan penyakit kanker.

Teh & Khasiatnya
Peneliti meyakini bahwa kandungan kafein dan theanine yang terdapat dalam teh itulah yang kemudian membawa dampak pada penguatan daya ingat. Sementara kandungan antioksidan pada teh ditemukan mampu mencegah kanker dan tumor. Tidak hanya itu, penelitian lain juga menemukan khasiat antioksidan pada teh yang luar biasa: mampu mengurangi resiko stroke hingga 60% dan mampu menurunkan kondisi aterosklerosis (pengerasan & penyempitan pada pembuluh darah) hingga lebih dari 50% yang berujung pada mampu mencegah terjadinya penyakit jantung.

Cukup di situ? Tidak! Di dunia kecantikan, penelitian membuktikan bahwa kandungan katekin (catechins) pada teh hijau mampu memicu penurunan berat badan. Bahkan, teh juga baik untuk kesehatan gigi. Sebab, teh mengandung fluoride alami.

Sayangnya, dari sekian banyak khasiat teh tersebut, ternyata, masih kurang mampu meningkatkan jumlah konsumsi teh bangsa Indonesia. Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia, konsumsi rata-rata teh masyarakat Indonesia pada 2012 sebanyak 5.162 ons per kapita setahun, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6.570 ons per kapita setahun. Kalau dirata-rata per orang, maka konsumsi teh per orang dalam satu tahun hanya sekitar 300 gram. Tentu ini jauh di bawah tingkat konsumsi teh negara lain yang bisa mencapai konsumsi 1000 gram per orang (misalnya: Australia: 600 gr per orang per tahun; Sri Lanka:1370 gram per orang per tahun). Alhasil, Indonesia hanya nangkring pada urutan ke 46 negara pengonsumsi teh di dunia.

Fakta ini jelas menjadi ironi tersendiri mengingat kebiasaan minum teh dianggap telah menjadi kebudayaan yang melekat dalam setiap suku bangsa Indonesia. Di Jawa Barat, misalnya. Hampir setiap warung makan atau bahkan restoran yang ada di daerah yang memiliki populasi paling padat se-Indonesia itu-menurut database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 populasinya mencapai 46.497.175 juta jiwa-senantiasa menyajikan teh sebagai suguhan utama menu mereka. Bahkan, ada yang mengganti air putih dengan teh.    

Ah, jangan-jangan kebiasaan minum teh di Indonesia belum menjadi sebuah budaya yang sesungguhnya seperti di Jepang atau Cina, di mana kedua negara itu memiliki ritual khusus dalam mengonsumsi teh.
Atau, mungkin kebiasaan minum teh belum tersosialisasi dengan maksimal?

Televisi & Kekerasan
Coba simak saja program-program kuliner di televisi di Indonesia. Rasanya, sudah cukup banyak kok acara yang menampilkan menu makanan dengan berbagai jenis teh sebagai minuman pendampingnya. Kalau begitu, apakah ini malah menjadi pertanda bahwa kemampuan televisi dalam menciptakan gaya hidup dan berkuasa mendefinisikan norma-norma budaya pada khalayaknya, seperti yang dicetuskan DeFleur (1970) dalam teori norma budaya (the norm and cultural theory), sudah kehilangan taji?

Atau, bisa jadi telah terjadi pergeseran cara pandang khalayak televisi Indonesia dalam memaknai tayangan-tayangan televisi tersebut?

Khalayak televisi Indonesia mungkin tidak lagi memaknai kegiatan minum teh sebagai mana mestinya. Tapi, sebaliknya. Khalayak punya interpretasi yang berbeda. Bagi mereka, khususnya yang telah terterpa tayangan dialog di program Apa Kabar Indonesia di TV One (28/06/2013), minum teh bukan lagi berfungsi sebagai minuman. Tapi, teh bisa digunakan sebagai alat kekerasan seperti yang dilakukan oleh Munarman, jubir FPI, pada dialog tersebut ketika menyiramkan teh ke wajah Sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola.

Kalau sudah begini, saya pribadi akan memilih meminum teh, seperti yang dianjurkan oleh ibu saya. Meskipun meminum teh yang menyembuhkan diare itu bisa jadi hanya mitos. Tapi, paling tidak saya tidak terlibat dalam tindak kekerasan yang ternyata menurut data Kementerian Dalam Negeri tahun 2012, kasus radikalisme meningkat hampir 80 persen dari tahun sebelumnya.

-PO-

6/30/13

Aku Berbohong Maka Aku Ada

Ilustrasi Pinokio yang diambil dari http://socialsimplicity.blogspot.com/2011/12/oversharing-is-not-honesty.html. Pinokio adalah tokoh rekaan produksi Walt Disney Company pada tahun 1940 dalam film "Pinocchio"

Filsuf asal Prancis, Rene Desacartes, boleh saja memiliki ungkapan fenomenal seperti Cogito Ergo Sum: Aku berpikir maka aku hidup. Tapi, itu tidak berlaku bagi saya. Sebab, menurut saya bukan berpikir yang membuat orang hidup, tetapi kebohongan atau berbohong menjadikan orang itu hidup!

Jangan cemas apalagi khawatir dengan ungkapan saya itu. Panas kuping sih boleh, tapi hati harus tetap dingin. Kenapa? Karena tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak pernah berbohong.

Soal bohong membohongi ini sejatinya akan jadi cerita yang panjang dan sangat rentan untuk diperdebatkan. Tapi, lagi, saya tidak tertarik untuk berdebat apalagi mempertahankan argumentasi yang bisa jadi berpotensi terselip kebohongan di dalamnya. 

Malam ini saya tergelitik dengan terminologi kebohongan setelah membaca berita tentang Maradona yang menolak hadir di Makassar dan enggan memberikan coaching clinic kepada anak-anak di stadion Gelora Bung Karno, Jakarta (ada beragam versi judul berita soal ini, namun intinya tetap sama: Maradona menolak memenuhi agenda panitia).

Yang menarik, ternyata, Maradona mempunyai alasan kuat untuk menolak agenda-agenda tersebut. "Saya sudah tahu ada SSB Boca Juniors Indonesia. Tapi, saya tak tahu bila ada kontrak untuk memimpin coaching clinic. Ada yang berbohong soal ini. Saya pasti mau melatih anak-anak tersebut. Jadi, jangan pernah berbohong kepada anak-anak," tegas Maradona seperti dilansir kompas.com (lihat: http://bola.kompas.com/read/2013/06/30/1746170/Maradona.Tak.Merasa.Ada.Kontrak.Coaching.Clinic).

Ya, Maradona merasa dibohongi! Maradona merasa, panitia, yaitu Badan Sepakbola Rakyat Indonesia (BASRI), telah membohongi dirinya. Dalam berita (dari link di atas) juga tertulis bahwa panitia tidak merasa melakukan seperti apa yang dikatakan Maradona.

Ah, mana yang benar? Akan pusing kita kalau berkutat di situ-situ saja.

Nah, supaya tidak pusing kita kembalikan saja semua ke 'khittah'-nya: "Aku Berbohong Maka Aku Ada".



*..in the end, it's not going to matter how many lies you took, but how many moments took your truths away.




-PO-
darikeheninganmalamdikamarkerjabersamaanakistriyangsudahterlelap
22:53 WIB

6/9/13

Tardidi

Suasana gereja HKBP Sudirman, Jakarta, pada Minggu (02/06/2013) sesaat sebelum prosesi tardidi dimulai.
Selalu ada penanda dalam hidup manusia. Kok, bisa? Tentu saja. Wong, manusia adalah homo significan. Artinya, meaning makers!

Nah, mari kita biarkan soal tanda, penanda, makna, dan tetek bengek penyertanya itu menjadi kajian ilmu semiotika. Tak perlulah saya dan Anda terlalu jauh menyelami bidang itu. Bisa satu semester sendiri nanti waktu yang tersita untuk bicara soal itu.

Sesungguhnya saya mau bicara soal tanda kepemilikan manusia. Maksudnya? Ya, kalau Anda mengaku memiliki nama tertentu, mari kita sebut saja dia 'Bunga', maka secara otomatis akan ada tanda yang mengidentifikasikan kepemilikan nama Anda itu. Bisa itu akta lahir atau juga KTP.

Nah, dalam keyakinan ber-Tuhan yang saya anut, anak adalah milik Tuhan. Oleh sebab itu, harus pula ada penanda bahwa dia telah menjadi milik Tuhan, yang dalam hal ini adalah Yesus Kristus.

Dan, tardidi-bahasa batak dari baptis-menjadi sebuah penanda anak telah resmi menjadi milik Tuhan Yesus Kristus. Minggu lalu (02/06/2013) saya, istri, dan keluarga besar membawa Enet Le Miracle-puteri pertama saya-ke gereja HKBP Sudirman, Jakarta untuk dibaptis. Adalah pendeta DR. Dewi Sri yang dipakai Tuhan sebagai orang yang membaptisnya.

Lalu? Ya, sudah bisa diterkalah, tentu saja. Namanya saja sudah jadi milik. Pasti akan dijaga dan terlebih lagi dikasihani. Kalau sudah begitu, apa yang kurang dalam menjalani hidup ini? Tenang sudah!

Rasa itu pula yang kemudian kami syukuri pada hari yang sama dengan menggelar pesta syukuran. Ya, saya menyebutnya pesta, meski dilakukan di rumah. Kenapa? Sebab, acara syukuran itu memakan biaya yang cukup besar. Tidak kurang dari 13 juta rupiah ludes sudah.

Semoga saja, itu bukan bentuk pemborosan kami, tapi ungkapan rasa syukur yang tak ternilai atas karya penyelamatan dan kasih Tuhan terhadap keturunan pertama kami yang membawa keajaiban: Le Miracle!


-PO-
090613
23:40
*daripengapnyakamartidur