'Bang..Bang..kita duduk di sini aja yuk..' kata nyonya kecil-sebutan saya untuk sang pasangan guna membedakan dengan nyonya besar sebagai sebutan untuk ibunda tercinta-di beberapa menit sebelum pemutaran film dimulai.
"Ah..jangan..di belakang aja kita..' balas saya sejurus kemudian.
'Kenapa, Bang?'
'Aku mau lihat reaksi penonton itu nanti. Toh kita sudah pernah nonton film sendiri kan?!' sanggah saya sembari mengajak si nyonya kecil ke deretan bangku paling belakang.
Scene pertama pun dimulai..
Kurang dari sepuluh orang yang memenuhi arena screen A di Erasmus Huis malam tadi (15/11) tampak bergeming. Konsentrasi coba mereka arahkan ke tiap adegan. Bisa jadi mereka menduga apa yang akan terjadi di scene selanjutnya.
Ekor mata sebelah kanan saya menangkap sesuatu. Ada yang bergerak di sana. Segera kepala ini berpaling ke kanan. Tentu saja diikuti pembesaran pupil mata demi mengatasi remangnya ruang penayangan film dokumenter bertajuk The 1st SBM International GOLDEN LENS Documentary Film Festival itu. Ada bule wanita tampak senyum simpul ketika menatap layar.
Penasaran. Cari tahu sebabnya. Segera tengok ke layar. Ternyata ada adegan Dede-sang tokoh utama usia 4 tahun dalam film dokumenter Kereta Cinta (The Cleaning Service)-keluar dari kardus setelah terlebih dahulu kardus itu menggelinding beberapa putaran. Dan saya pun ikutan tersenyum. 'Mantab...!' Batin saya dalam hati mendapatkan respon sesuai dengan apa yang telah saya skenariokan.
Waktu bergulir. Entah sudah berapa scene film yang mengisahkan tentang paradoks antara cinta dan eksploitasi anak oleh orangtua ini berlalu. Saya tak tahu lagi. Namun, yang saya tahu, jumlah orang di arena festival itu semakin banyak. Dipo Siahaan, sang kawan yang belum genap sebulan tiba kembali di Jakarta pasca kuliah master-nya di Filipina dan Kostarika, jadi salah satu penonton tambahan di tengah-tengah film yang berdurasi total 29 menit 20 detik tersebut. 'Sori..sori..telat..' ucapnya sembari duduk tepat di samping kiri saya. 'Baru mulai kan?' celotehnya kemudian. 'Udeh..udeh..nikmati aje..belom lama kok' jawab saya singkat guna segera menyudahi percakapan yang bisa jadi mengganggu kenyamanan penonton lain kalau tetap diteruskan.
Ternyata Dipo punya 'pengikut'. Beberapa orang mencoba mengisi bangku yang masih kosong. Iboy-begitu biasa dia dipanggil-juga datang terlambat. Sang wartawati beritasatu.com ini menepuk punggung saya dari belakang sambil tersenyum untuk kemudian bergerak ke bangku depan.
Baru kali ini saya merasakan menonton film di kondisi yang berbeda. Ada pasangan. Juga ada teman. Bahkan orang asing pun turut serta. Tapi yang ditonton itu film karya sendiri. Hasil putar otak dan peras keringat, bahkan kuras dompet sendiri. Rasanya...hmmm..berjuta deh rasanya. Senang, tentu saja. Apalagi di akhir film sang kawan wartawati tadi menyelamati saya sambil berucap, 'Eh ada Om sutradara..selamat ya..keren loh filmnya..'
Cukup di situ? Tidak! Dipo juga seolah tak mau ketinggalan dalam memberi pujian. 'Dahsyat Pir..gak nyangka gua ternyata elu berbakat juga ya..keren Pir..' ucapnya sembari jalan keluar usai pemutaran perdana film dokumenter hasil riset selama satu tahun itu.
'Hehehe..makasih..Po..' balas saya kemudian sambil cengar-cengir. 'Omong-omong nomor sepatu lau berape?' saya mencoba berkelakar setelah mendapat pujian itu.
'...hahaha..' jawabnya.
'Eh tapi bener..keren. Semoga film lu masuk lima besar ya..' lanjutnya lagi.
'Loh..memang itu film, puji Tuhan, sudah masuk nominasi lima besar Po..' sahut saya kemudian.
'..oh gitu toh..'
'Iya..nah, nanti dari 5 besar itu baru akan dipilih best-nya..'
'Wuah..mantab itu..' sahutnya lagi.
'..iya, di festival internasional ini film kuat di cerita meski diambil pake handycam malah dihargai tinggi. Tapi entah kenapa justru di festival lokal malah gak lolos jadi finalis tuh..'jelas saya kemudian.
Sial Dipo malam tadi. Dia malah jadi sasaran curhat saya. Bahwa di malam yang sama ternyata saya sedang kecewa. Pasalnya, Kereta Cinta dinyatakan tidak lolos sebagai finalis di salah satu festival dokumenter tingkat lokal oleh panitia. Sejatinya, bukan karena hasilnya yang membuat kecut hati. Sebab, menang itu sudah biasa bagi saya. Kalah? Apalagi..Mafhum sudah!
Tapi, ini lebih ke ke-miris-an hati saya terhadap cara panitia festival itu dalam membuat perubahan tenggat waktu penerimaan akhir pendaftaran film peserta festival. Mereka terkesan tidak siap, tidak adil, dan bahkan tidak sopan terhadap para peserta festival yang sudah berjibaku sekuat tenaga memenuhi tenggat waktu yang mereka sudah tetapkan sendiri untuk kemudian dirubah dengan alasan, 'Dikarenakan ada banyaknya permintaan, maka batas akhir penerimaan karya..diundur..’ Begitu para panitia film tadi coba berdalih melalui semacam poster yang di-post-kan di dinding Facebook resmi mereka. Tidak ada maaf, apalagi rasa sesal. Karena keterangan poster itu justru mencerminkan sebaliknya, 'Semoga ini merupakan kabar gembira. Salam dokumenter!'.
Sungguh, gemerlap sebuah festival ternyata bisa beragam rasanya. Tapi paling tidak, saya beruntung. Dua kutub rasa: suka dan duka, sudah pernah saya cicipi.
-PO-
dariterminalsyukur
03:43 WIB
*Foto adalah koleksi pribadi yang diambil dengan kamera henpon tanpa lighting pada Selasa malam (15/11) di Erasmus Huis, Jakarta.