5/17/25

Degeneratif

Taken from: https://www.news-medical.net/health/Neurological-Disorders-vs-Neurodegenerative-Disease.aspx 

Akhirnya,...


Menulis lagi. Setelah sekian lama. Berjuang untuk tetap konsisten semangat. Baru sekarang paripurna. 


Mungkin ini yang dinamakan faktor U. Penambahan usia tidak sertamerta memberikan daya semangat baru untuk beraktivitas, wabil khusus menulis. Makin tua juga makin terasa mager alias malas gerak. Di sinilah saya salut dengan kakak Luna Maya. Tua, tak menyurutkan hasrat berkomitmen dalam mengarungi hidup bersama pasangannya. Duh, kok jadi lari ke situ sih? Ndak apalah. Ini kan tulisan untuk blog. Bukan materi tulisan ilmiah atau juga materi kuliah.


Soal tua ini menarik. Ternyata, ada kecenderungan bagi setiap insan yang mulai menapaki usia 40 tahun akan secara otomatis terserang penyakit wajib. Iyes, kaum 40-an akan cenderung menjadi penyandang degenerative disease. Sebut saja dari mulai kualitas pandangan yang berkurang hingga tulang belulang yang merenggang. 


Seorang teman saya yang berprofesi sebagai dokter spesialis rehabilitasi medik mengatakan bahwa kaum 40-an itu rentan menderita sakit tulang dan otot. Mulai dari pegal linu hingga sakit nyeri populer saraf kejepit muncul kepermukaan. Tapi, yang menarik dan unik adalah ada faktor yang membersamai penambahan usia pada setiap penderita penyakit itu. Sang kawan menyebutnya: lifestyle aka gaya hidup yang buruk!


Soal gaya hidup memang pelik. Dia bak dua sisi mata koin yang saling terkait tapi mengambil posisi yang bertolak belakang. Di satu sisi gaya menjadi sebuah dorongan yang menghasilkan kenikmatan tersendiri: mulai dari kenikmatan yang muncul dari dalam diri atau kenikmatan yang muncul dari luar akibat pemaknaan orang lain. Namun, di sisi lain, gaya itu cenderung membutakan kita akan adanya ancaman: Penurunan kualitas diri secara tertentu atau keseluruhan, kalau ndak mau dibilang kerusakan, atau bahkan penderita degenerative disease. (Khusus soal degenerative disease itu, monggo ditelusuri sendiri kepada Paman Google yah sodara-sodara, tuan-tuan dan tuin-tuin...xixixixixi).


Begini sederhananya. Hidup kita itu, dua per tiga-nya adalah duduk. Yup, data menunjukkan bahwa manusia ternyata lebih dominan duduk daripada mikir. Eh, maap. Maksud saya melakukan aktivitas lain, termasuk mikir #Eaaa Balik lagi dengan gocekan maut ala Messi hahaha.. (Lagi, soal data itu juga monggo cek ulang aja secara mandiri kalau ndak percaya ato bahkan bingung. Kecuali Anda termasuk si 40-an itu yah, dimaklumi kok kalo malas #Eh).


Dan dalam setiap duduk kita, gaya duduk yang paling populer, saya percaya, adalah bersandar ala Sultan. Gimana tuh? Di sini asyiknya sebuah tulisan. Coba aja pikir sendiri kalau jadi Sultan aka orang yang powerful akan duduk sesuka hatinya. Yang penting bisa bikin kita paling nyaman. Duh, kata nyaman kok jadi momok, yah? Kenapa? Karena, ternyana eh ternyana nyaman dalam duduk (bicara duduk loh ini bukan nyaman dalam romantisme ala Luna Maya #looohhhh :p) erat kaitannya dengan mempertaruhkan kualitas tubuh menjadi semakin menurun,... dan menurun,... dan menurun secara perlahan namun pasti. Sepasti pertambahan usia dan jumlah repetisi aktivitas duduk yang katanya nyaman tapi mematikan itu. (Maksudnya ini menyakitkan yang mematikan loh, yah ekekekekekek)

 

Duduk yang dianggap nyaman cenderung memposisikan tubuh bagian bokong dan tulang panggul serta lumbar punggung kita tidak baik. Kawan dokter saya tadi menyatakannya: Secara medis duduk yang pingin nyaman dengan leyeh dan bersandar hingga tiduran adalah sangat tidak tepat. Dan ketika soal posisi salah duduk ini dilakukan secara repetitif, maka pada umumnya, usia 40-an tahun adalah momen di mana sakit molaik menjadi teman karib yang cukup setia #Uhuy.  Soal bagaimana teknis duduk yang baik dan memberikan kenyamanan yang hakiki, monggo lagi,...dan lagi sila dicek sumber-sumber ilmiah, yah. Jangan malas untuk mencari tahu. Sebab sesungguhnya, makan tahu jauh lebih nyaman dari segalanya ckckckckckck.. #Aposehhh :p 


Duduk seenaknya demi sensasi nyaman rasanya sering dilakukan saat menonton sebuah tayangan tertentu. Tadinya mau bilang, saat menonton tv. Etapi, sekarang orang sudah jarang menonton tv (begitu sih kabar burung-nya; soal ini saya belum miliki bukti kuat yang menunjukkan soal penurunan jumlah penonton tv itu). Tapi, itu bukan satu-satunya. Nonton di bioskop juga paling asyik nan nyaman sambil leleyehan sembari sesekali curi-curi pandang ke pasangan di samping-kalo lagi PDKT sama pasangan loh, yah. Kalok sudah suami-istri, saat nonton bioskop mah,...rasanya,..yah...ada baiknya nanti kita tanyakan lagi kepada kak Luna, yah? #Looohhhh?! :p 


Kalau duduk di tempat yang relatif serius, bijimana, yah? Maksudnya, kalau kita sedang di bangku kelas kuliah (harusnya kelas kuliah adalah contoh yang paling tepat untuk mewakili tingkat keseriusan seseorang dalam beraktivitas), apakah kita cenderung mementingkan kenyamanan dan mengorbankan kesehatan, yang berujung menjadi pesakitan jua kah? Ini mulai serius keknya :)


Bagaimana pun posisi duduk kita di bangku kelas kuliah, sejatinya TIDAK BOLEH mengurangi tingkat kemampuan berpikir kritis kita. Bahasa kerennya, kuliah sejatinya menjadi sebuah usaha mencerdaskan pola pikir melalui kumpulan gagasan yang saling di-diskusikan atau bahkan diperdebatkan dengan serangkaian metode yang dapat dipertanggungjawabkan: ILMIAH! Bukan, malah, sebaliknya, mendegenerasi aka membodohi dengan cerita bualan yang kosong nan tidak kredibel!


Saya suka sekali dengan terminologi yang digunakan oleh penulis Hermann A. Maurer. Katanya, saat-saat ini, kecakapan kita dalam berpikir kritis menjadi pertanyaan besar, kalau ndak mau disebut diragukan kualitasnya. Menurut Herman, yang menjadi konsern terbesar abad ini adalah saat di mana fenomena penggunaan internet dan teknologi penyertanya seolah melumpuhkan daya pikir kritis kita. Coherent logical thinking is in danger!!! Begitu, katanya, saya kutip langsung. Dia secara panjang kali lebar menjelaskan tali-temali keterkaitan di antara pola konsumsi internet dengan kemampuan berpikir manusia. Singkatnya, Herman menyerukan agar kita wajib waspada pada segala hal yang terkait dengan dunia internet dan tetek bengeknya. Kecuali Anda mau menjadi bodoh!


Loh, soal duduk tadi gimana ceritanya? Ceritanya, salah satu penyemangat saya untuk kembali menulis meski usia sudah masuk 40-an adalah keinginan tidak mau menjadi bodoh. Kan ndak lucu. Sudah lah menderita sakit wajib akibat usia, harus pula tersiksa sakit di otak karena tontonan dari internet yang sangat menggerus kualitas berpikir bernas yang kita miliki. 


Oiya, coba deh tonton tayangan YouTube dengan kata kunci Kuliah Publik. Ada sebuah tayangan dengan label kuliah di sana. Ada pula ajakan berpikir dalam narasi tulisan di keterangan tayangan itu. Tapi, kok,...yang disampaikan hanyalah berisi cerita yang tidak lebih serius dari isi blog saya? Soal data,..soal konsep-berikut metodologinya, dan soal dialektika yang menjadi beberapa penanda keseriusan kuliah hanyalah tinggal cerita kosong belaka.


Apakah ini gegara orang-orang yang tampak menyimak kuliah itu salah duduk sehingga terlena dalam kenyamanan yang semu? Atau, mereka semua adalah kumpulan orang tua yang kualitasnya sudah menurun signifikan sehingga tidak bisa berpikir kritis untuk mempertanyakan: Apakah yang membuat kuliah ini KREDIBEL (dan tentu saja dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan ilmiah-bukan sekadar cerita kosong ala media sosial)??? Apa perlu sekali lagi kita libatkan kak Luna Maya soal-soal seserius ini? 


Ah,..kak Luna kan sedang menikmati bulan madu sehabis menikah. Baiknya jangan diganggu. Lagian, kan, saya sudah berhasil menulis lagi, tho?! Anda sendiri, gimana? hehe...


-PO-

*LewatTengahMalam

**DariSudutPasarMingguRaya    

2/28/25

0095

Ilustrasi pribadi

Sedang menikmati kemenangan kecil, tapi sangat berarti.


Apa itu?


Ah,..masak diceritakan via blog yang serba imajiner ini sih?


Ketemuan dong..


Sambil ngopi genit pasti lebih asoy ceritanya hahaha..


Ya, sudah.


Segitu dulu aja yah..


Nguantuk, euy.


Zzz...zz...z...


-PO-

#LewatTengahMalam

*Judul tulisan ini juga bagian dari kemenangan loh. Cuma, porsinya, dia lebih besar dan ndak layak dibagikan untuk umum. Khawatir bikin iri banyak orang, euy xixixi.. :p   

2/24/25

Wakatobi

Foto koleksi pribadi, diambil dari https://www.instagram.com/p/BfiC-1rhblZ/?utm_source=ig_web_copy_link


Ceritanya lagi hanyut dalam nostalgi (maklum, bulan Februari) #Uhuy :p 


Saat menginisiasi penelitian lintas negara, lintas benua.


Anak Jakarta, yang bertapa di Melbourne Raya, merambah laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara sebatang kara haha..


Hasilnya...


Aha... #SenyumDuluDuns :)


Dah, gitu ajah..


Ciao!


PO

240225

*JelangTengahMalam


2/14/25

Valentine's day

Sebuah masterpiece dari si buah hati :)


Ceritanya sedang meresapi makna hari kasih sayang ala bule.

Kalau hari valentine itu dimaknai dengan memberi. Iya, memberi ucapan disertai dengan kartu dan berbagai jenis hadiah, itu mah biasa.

Yang luar biasa adalah kalau yang diberikan itu adalah pengorbanan.

Asyik, ndak? #Uhuy :p 

Sudah, ah. 

Ini sekadar iseng-iseng belaka saja sambil menunggu proses rendering editing video yang 'lambreta lamborgini' belum selesai juga dari sore tadi sampai tulisan ini kelar, hiks... :(

Oiya, met nikmati hari Valentine, yah hehe..


Ciao!


-PO-

*TengahMalamJelangHariBaru

2/1/25

Pejabat

Ilustrasi: Koleksi pribadi :)


Apa yah enaknya menjadi pejabat???

Sudah, itu saja.

Mari kita tidur (lagi) :)

Zzz...zz..z.

Ciao!


PO
020225
03:09am

1/23/25

Sesat Pikir

Taken from: https://www.health.harvard.edu/blog/careful-health-news-headlines-can-be-deceiving-202111122636

Malam ini galau berat, euy.


Gegaranya terdampak narasi kuat di media sosial yang mengatakan bahwa jumlah representasi bangsa Indonesia di institusi pendidikan tinggi luar negeri (tepatnya negara-negara adikuasa) sangat minim dibandingkan negara lain, wabilkhusus serumpun Asia: China, India, Vietnam, dkk.


S-W-G-L???


So - What - Gitu - Loh???


Memangnya kenapa kalau hanya sedikit anak bangsa yang kuliah di kampus luar negeri (ternama)?


Apakah ada data yang mendukung bahwa dengan jumlah lulusan pendidikan tinggi luar negeri akan memajukan negara Indonesia?


Saya MERAGUKAN itu!!!


Musababnya, data justru menyatakan bahwa pendidikan usia dini lah yang sejatinya memainkan peran sangat signifikan dalam membentuk dan membangun karakter seseorang (dan bangsa), yang sangat dibutuhkan untuk menjadikan sebuah negara bisa maju.


Bahasa kerennya: Early childhood education adalah kunci bagi seseorang terbentuk sebagai pribadi yang beretika, bermoral, dan bijaksana.


Sungguh, saya sangat mengamini itu dan berusaha untuk selalu menempatkan pendidikan usia dini sebagai kerangka berpikir (framework) yang sangat efektif dan efisien dalam meraih visi cemerlang di masa depan.


Kerangka berpikir ini pula yang kemudian menjadi refleksi kenapa banyak fakta menunjukkan bahwa kualitas lulusan luar negeri di Indonesia cenderung tidak memberikan dampak signifikan dalam majunya bangsa secara umum.


Malah, di satu-dua kasus, ada gelagat lulusan kampus luar negeri ketika kembali di Indonesia bersikap alias memliki attitude yang tidak bermoral.


Ya, salah satu contohnya adalah penarasi sesat pikir seperti paparan di awal tulisan ini. 


Eh, omon-omon, orang yang menarasikan itu lulusan KAMPUS luar negeri atau SEKOLAH (pendidikan usia dini) luar negeri, yah? hehe..


Pantesan ajaaa... ;)


Ciao!


PO