![]() |
Image courtesy of http://nasional.inilah.com/read/detail/2004688/munarman-fpi-siram-air-teh-ke-sosiolog-ui#.UfPAUNJcxtg |
Pada suatu Minggu pagi.
Libur dari pekerjaan kantor dan cuaca yang cerah. Saya pun masih terbaring di
kasur. Bukan untuk berleyeh-leyeh tapi karena lemas akibat diare.
“Pir, ini teh panasmu.
Minum dulu,” ujar ibu saya sambil menyuguhkan segelas teh tawar panas.
“Habiskan. Biar segera berhenti diaremu”.
Ya, orangtua saya meyakini bahwa teh tawar panas mampu menjadi penawar diare yang cukup ampuh. Keyakinan itu beliau percaya secara turun temurun. Bahkan, konon, ada jutaan orang Indonesia yang berkeyakinan sama dengan orangtua saya.
Soal benar-salah, tentu masih harus dipertanyakan. Sebab, keyakinan itu dilandasi mitos belaka, bukan alasan ilmiah.
Nah, secara ilmiah teh digadang-gadang memiliki beberapa khasiat, mulai dari mampu mencegah penyakit alzheimer hingga dipercaya mampu membantu proses penyembuhan penyakit kanker.
Teh
& Khasiatnya
Peneliti meyakini bahwa
kandungan kafein dan theanine yang
terdapat dalam teh itulah yang kemudian membawa dampak pada penguatan daya ingat.
Sementara kandungan antioksidan pada teh ditemukan mampu mencegah kanker dan
tumor. Tidak hanya itu, penelitian lain juga menemukan khasiat antioksidan pada
teh yang luar biasa: mampu mengurangi resiko stroke hingga 60% dan mampu menurunkan kondisi aterosklerosis
(pengerasan & penyempitan pada pembuluh darah) hingga lebih dari 50% yang
berujung pada mampu mencegah terjadinya penyakit jantung.
Cukup di situ? Tidak! Di dunia kecantikan, penelitian membuktikan bahwa kandungan katekin (catechins) pada teh hijau mampu memicu penurunan berat badan. Bahkan, teh juga baik untuk kesehatan gigi. Sebab, teh mengandung fluoride alami.
Sayangnya, dari sekian banyak khasiat teh tersebut, ternyata, masih kurang mampu meningkatkan jumlah konsumsi teh bangsa Indonesia. Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia, konsumsi rata-rata teh masyarakat Indonesia pada 2012 sebanyak 5.162 ons per kapita setahun, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6.570 ons per kapita setahun. Kalau dirata-rata per orang, maka konsumsi teh per orang dalam satu tahun hanya sekitar 300 gram. Tentu ini jauh di bawah tingkat konsumsi teh negara lain yang bisa mencapai konsumsi 1000 gram per orang (misalnya: Australia: 600 gr per orang per tahun; Sri Lanka:1370 gram per orang per tahun). Alhasil, Indonesia hanya nangkring pada urutan ke 46 negara pengonsumsi teh di dunia.
Fakta ini jelas menjadi ironi tersendiri mengingat kebiasaan minum teh dianggap telah menjadi kebudayaan yang melekat dalam setiap suku bangsa Indonesia. Di Jawa Barat, misalnya. Hampir setiap warung makan atau bahkan restoran yang ada di daerah yang memiliki populasi paling padat se-Indonesia itu-menurut database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 populasinya mencapai 46.497.175 juta jiwa-senantiasa menyajikan teh sebagai suguhan utama menu mereka. Bahkan, ada yang mengganti air putih dengan teh.
Ah, jangan-jangan kebiasaan minum teh di Indonesia belum menjadi sebuah budaya yang sesungguhnya seperti di Jepang atau Cina, di mana kedua negara itu memiliki ritual khusus dalam mengonsumsi teh.
Atau, mungkin kebiasaan
minum teh belum tersosialisasi dengan maksimal?
Televisi
& Kekerasan
Coba simak saja
program-program kuliner di televisi di Indonesia. Rasanya, sudah cukup banyak kok acara yang menampilkan menu makanan
dengan berbagai jenis teh sebagai minuman pendampingnya. Kalau begitu, apakah
ini malah menjadi pertanda bahwa kemampuan televisi dalam menciptakan gaya
hidup dan berkuasa mendefinisikan norma-norma budaya pada khalayaknya, seperti
yang dicetuskan DeFleur (1970) dalam teori norma budaya (the norm and cultural theory), sudah kehilangan taji?
Atau, bisa jadi telah terjadi pergeseran cara pandang khalayak televisi Indonesia dalam memaknai tayangan-tayangan televisi tersebut?
Khalayak televisi Indonesia mungkin tidak lagi memaknai kegiatan minum teh sebagai mana mestinya. Tapi, sebaliknya. Khalayak punya interpretasi yang berbeda. Bagi mereka, khususnya yang telah terterpa tayangan dialog di program Apa Kabar Indonesia di TV One (28/06/2013), minum teh bukan lagi berfungsi sebagai minuman. Tapi, teh bisa digunakan sebagai alat kekerasan seperti yang dilakukan oleh Munarman, jubir FPI, pada dialog tersebut ketika menyiramkan teh ke wajah Sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola.
Kalau sudah begini,
saya pribadi akan memilih meminum teh, seperti yang dianjurkan oleh ibu saya.
Meskipun meminum teh yang menyembuhkan diare itu bisa jadi hanya mitos. Tapi,
paling tidak saya tidak terlibat dalam tindak kekerasan yang ternyata menurut
data Kementerian Dalam Negeri tahun 2012, kasus radikalisme meningkat hampir 80
persen dari tahun sebelumnya.
-PO-